Bisikan Hati Ibu
Anakku
Sini kubisikkan sesuatu. Antara keraguan dan
pertanyaan yang mulai menggantung di pelupuk mata. Seiring kau beranjak dewasa.
Mungkin begitu banyak jawaban atas pertanyaan yang menunggu. Pun sebanyak itu
pula kisah yang ingin kusampaikan padamu.
Sayangku,
Mungkin engkau akan banyak menerka. Seberapa
penting posisimu dihati ibu? Apakah ibu benar-benar menyayangimu? Sementara
sampai saat ini, nyatanya kata itu tak pernah kau dengar keluar dari bibir ini.
Rangkulan hangat tak selalu kau dapat. Ucapan kebanggaan tak mesti kau dengar.
Bahkan medan juang yang selama ini kau pertaruhkan nampak “terabaikan”.
Sebelum ibu bercerita akan desir-desir
kerinduan dan tenggelam dalam harmoni, ijinkan aku mengajakmu mengingat. Yahhh
mengingat akan sebuah masa indah dimana kamu tak memiliki seorangpun untuk
bergantung. Tak ada pelipur dan kawan tempat kau bertandang. Melainkan ibu.
Putriku
Ingatkah kamu, waktu masih belia? Kurengkuh
engkau diantara angin yang menyibak mesra. Kugendong dan kurawat dengan
kesungguhan. Kuajarkan padamu bagaimana
caranya memanjat diantara pepohonan rindang yang membentang. Padang ilalang bak
permadani hijau tak lepas dari arena medan permainan. Pun ikan-ikan yang
menjadi hewan buruan. Kau terlihat senang bercengkerama diantara mereka. Sementara,
ibu terus memacu daya dalam kerja.
Seiring engkau tumbuh, dikala usiamu
menginjak 6 tahun, Ibu antarkan engkau masuk ke sekolah. Tempat peraduanmu
dalam mengenal huruf, angka, bait, dan cerita. Saat itu Ibu memang sengaja tidak
memasukkanmu ke TK (Taman Kanak-kanak) terlebih dahulu. Maklumlah, tempat
tinggal kita DI Desa sangat jauh dari akses pendidikan TK. Terlebih kala itu,
jalanan raya hanya beralaskan bebatuan terjal yang ditata. Akses kendaraanpun
hampir dipastikan tidak ada. Di hari pertama masuk sekolah itu, engkau tampak
gugup dan ketakutan. Barangkali karena belum banyak yang kau kenal dan ketahui
disini. Kau merengek dan menahan ibu untuk tinggal di sekolah bersamamu. Tanpa sadar, kau seret tangan ini dengan
erat. Disaat yang sama Ibu tak bergeming. Lantas meninggalkanmu di sekolah tanpa
menoleh ke belakang sedikitpun. Kejam???. Yahh mungkin itulah stempel yang akan
engkau berikan pada ibu. Namun asal
engkau tahu anakku, itulah cara yang ibu lakukan guna mendidikmu agar menjadi
wanita yang berani, Mandiri, dan kuat menghadapi kenyataan.
Dikala kecil, engkau termasuk anak yang
agak susah dalam belajar. Engkau terlihat antusias manakala memiliki teman yang
mampu kau ajak berenang di sungai, beburu ikan dan burung, bermain petak umpet,
ataupun sekedar mbolang di
pegunungan. Tak jarang engkau berusaha mengelabui Ibu untuk kabur lewat pintu
belakang. Sementara ibu punya banyak cara untuk menahanmu di rumah. Ibu kerap
kali memintamu untuk belajar membaca dan menulis. Dengan bujukan hingga
paksaan. Derai air mata dan jeritan tangis selalu saja kau keluarkan saat kita
bersama. Yahh mungkin saja saat itu kau akan berfikir betapa egoisnya ibu yang
selalu memangkas waktu bermainmu Maka meski harus perang batin, Ibu tetap
bersikeras mengajarkan huruf demi huruf,
kata demi kata padamu. Karena dengan kemampuan membaca dan menulis itu, ibu
berharap engkau bisa menjadi anak yang lebih baik.
Mengajarkan arti pendidikan padamu
tidak semudah membalikan telapak tangan. Kerja keras ibu membantumu mengerjakan
PR dan belajar, nyatanya tak selalu berbuah manis. Seringkali kau dapatkan
nilai 0 (nol) saat duduk di bangku kelas 1 dan 2 SD (Sekolah Dasar). Bahkan
sekedar menulis namamu yang amat sederhana pun salah. Ibu sebenarnya tahu jikalau engkau sering membuang nilai-nilai
jelek yang kau dapat di bak sampah sebelum tiba di rumah. Tak jarang aku memarahi dan menuntutmu untuk
belajar lebih giat lagi. Sedang kaupun seperti biasa, pandai mencari-cari
alasan pembenaran.
Diusiamu yang ke 7 tahun, barangkali
perhatian Ibu padamu sedikit berkurang. Ibu melahirkan seorang bayi laki-laki
yang sekaligus menjadi adik kecilmu. Ibu tidak sesering dahulu mengechek PR dan
jam belajarmu. Namun ternyata diluar perkiraan, engkau justru kian melejit. Tanpa
paksaan dalam belajar, nyatanya kau mulai sadar akan pentingnya belajar. Begitu
seterusnya hingga datanglah masa kelulusan SD. Ibu merasa sangat terkejut
sekaligus bangga bahwa engkau yang selama ini tak pernah masuk ranking 5 besar
di kelas (bahkan pernah berada di urutan ke 27 dari 30 siswa di bangku kelas 1
dan 2), nayatanya bisa menyabet jawara ke 2 predikat nilai terbaik UN dan UAS. Selepas
itu, keinginanmu memiliki sepeda onthel pun terwujud atas dukungan dari Bapak
karena prestasi itu. Kau pun terlihat sangat bahagia dan akrab sekali dengan
Bapakmu. Sedang aku hanya terdiam, tanpa
kata.
Saat memasuki dunia SMP, engkau
tidak terlalu banyak berubah. Hanya saja, interaksi dengan kawan sepermainan mulai berkurang. Kini
engkau mulai memiliki lingkungan yang baru. Gadis kecil ibu kini tumbuh menjadi
anak yang pendiam. Dibeberapa kesempatan engkau terlihat begitu minder
dihadapan teman-teman. Apakah gerangan anakku? Apa yang engkau khawatirkan saat
itu?. akankah engkau membutuhkan sahabat untuk bercerita? Ataukah engkau
kesulitan bergaul dengan mereka? Sementara aku terlalu sibuk dengan kebun dan
sawah. Agaknya itu menjadikanmu kesal padaku. Engkau lebih banyak diam dan
enggan untuk bercerita. Terlebih aku
seringkali membandingkan antara kelemahammu dengan kelebihan anak yang lain.
Dibalik sifat pendiam dan mindermu
tersimpan potensi yang membanggakan.. Prestasi selama SMP tak pernah absen kau
duduki. Engkau selalu masuk ke jajaran kelas favorit dan menduduki ranking
terbaik disana. Hingga tiba masa SMK, Ibu sempat merasa putus asa akankah mampu
memberikan sokongan biaya sekolah bagimu atau tidak. Namun ternyata, kau tumbuh
menjadi anak yang gigih dan berani. Dengan tekad sekuat baja, engkau tunjukkan
pada Ibu akan keseriusanmu bersekolah. Engkau bilang bahwa engkau ingin
mengukir prestasi dan meraih beasiswa guna meringankan beban Ibu dan Bapak. Tak
berselang lama, kejutan demi kejutan engkau pesembahkan. Engkau kerap menjuarai
lomba-lomba bidang debat bahasa inggris, olimpiade penelitian dan kompetesi
kejuruan dari tingkat Kabupaten Semarang, Provinsi Jawa Tengah hingga Nasional.
Saking bangganya padamu, bahkan Ibu tak pernah telat ataupun absen untuk
mengambilkan rapor disetiap penerimaanya sejak SD hingga kini. Tak bisakah
engkau terka bisikan yang terpampang jelas dalam binar mata ibu, anakku?
1 tahun menjelang masa putih
abu-abumu berakhir, ada permintaan darimu yang dahulunya pernah ibu tolak. Saat
itu tepatnya tahun 2011. Engkau meminta ijin pada Ibu untuk tinggal di asrama
sekolah. Engkau bilang bahwasanya ingin mengemban ilmu agama lebih dalam dan
agar aman karena sebentar lagi banyak jadwal les tambahan yang menanti hingga
petang.maklumlah kalaupun memaksakan
pulang, tak ada lagi angkutan umum yang masuk ke desa. Awalnya, ibu merasa
khawatir dan berfikir jikalau ini hanyalah pelarianmu agar tidak terkekang oleh
aturan yang melarangmu keluar malam. Maklumlah, aku hanya khawatir jikalau
engkau terjebak pergaulan yang tidak baik. Engkau anak perempuan satu-satunya
yang Ibu miliki. Dibalik ketatnya dan kerasnya perlakuaku padamu, tersimpan
kasih yang mendalam untuk menjagamu.
Keputusan ibu mengijinkanmu tinggal
di asrama agaknya berbuah manis. Menepis segala kegundahan dan keberatan hati
yang awalnya berkelana. Engkau kini memutuskan untuk berhijab. bukan hanya di
Sekolah, namun juga kala di rumah. Engkau menjadi anak yang lebih santun dan
hormat pada orang tua. Engkau juga memilih untuk tidak mengikuti jalan
teman-temanmu yang kebanyakan berpacaran.
Dan tahukan engkau nak, Ibu sangat lega. Melihat keteduhan yang engkau
pancarkan. Meskipun aku bukanlah sosok ibu yang mampu mendidikmu dan mengajarkanmu
bekal ilmu agama. Bahkan mungkin kau sudah bosan karena aku seringkali menjadi
penuntut tuntutan sekaligus pelanggarnya. Namun, harus kau tahu anakku, di dalam
untaian indah doa yang ibu panjatkan tak pernah berhenti menyebut namamu.
Aku memanglah sosok yang memiliki
banyak keterbatasan. Saat masih muda, aku adalah anak yang cerdas. Tersebab
kesulitan ekonomi, akhirnya aku harus mengalah. Pendidikanpun hanya tamat
sampai bangku SD. Tapi nak, melihatmu
menggebu dan mengukir banyak prestasi menjadikan semangat yang tadinya
terkubur, bangkit kembali. Ibu tak ingin engkau mengubur impian indahmu
sebagaimana ibu harus merelakan impian masa muda ibu dengan alasan keterbatasan.
Yahh… pada akhirnya engkau dengan kegigihan menunjukkan kepada Ibu dan
masyarakat di desa bahwasanya engkau bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang
perguruan tinggi.
Cobaan hadir sebagai bentuk karunia
Ilahi atas kekuatan iman hambaNya. Di tahun 2015 ibu mendapatkan sedikit cobaan
berupa tumor payudara yang sudah akut. Ibu sempat menjalani opname di RSUD
selama beberapa waktu. Dikarenakan peralatan yang terbatas akhirnya Ibu dirujuk
ke RSUP Dr. Kariadi untuk menjalani operasi. Disaat itu, engkau tetiba hadir
mendampingiku. Meski ku tahu nak, engkau saat itu sedang sibuk dengan seabrek
agenda di kampus. Yahhh kuliah di Yogya sangat memforsir waktumu hingga jarang
menengok Ibu di kampong halaman. Engkau memutuskan untuk ijin dari kuliah dan
mendampingi operasi Ibu sejak awal masuk RS hingga keluar. Betapa saat itu Ibu
merasa tenang engkau ada disampingku, Nak. Dan masih sama, aku tak pernah bisa
membuatmu mendengarkan apa yang terpendam dalam lubuk hati ini.
Belum genap sebulan setelah ibu
keluar dari Rumah Sakit (akhir 2015). Kondisi Ibu belum sepenuhnya pulih.
Tetiba Ibu mendapat kabar bahwa engaku jatuh sakit dan harus diopname di salah
satu puskesmas di Yogyakarta. Kudengar kondisimu lemah, tak berdaya. Kadar trombositmu
bahkan berada dalam skala yang sangat rendah. Saat itu Ibu sangat gugup,
khawatir dan takut jikalau terjadi apa-apa padamu. Anjuran makan teratur dari
dokter guna minum obatpun Ibu abaikan. Ibu bahkan tidak bisa tidur semalaman.
berharap malam kan berlalu dengan lebih cepat. Hanya kondisimu yang selalu
terbesit dalam pikiran Ibu. Paginya Ibu memberanikan diri untuk berangkat ke
Yogya sendiri. Guna menyusulmu. Merawatmu. Membersamaimu. Duhai anakku. Karena
bagiku kesehatanmu adalah jauh lebih penting, melebihi segalanya. Kalau bisa
mungkin Ibu lebih memilih untuk menukar rasa sakitmu untuk menjadi sakitku.
Akankah engkau mampu membaca nak?
Membaca suara yang tak selalu terdengar oleh telinga, nampak oleh mata namun
semestinya bergetar didalam hati. Pada
saat acara wisudamu, Ibu dan bapak bahkan mengajak budhe, pakdhe, bu lek,
keponakan, dan adekmu untuk hadir di momen bersejarah wisuda sarjana yang
engkau kirimkan. Sesampainya disana engkau berikan kejutan yang luar biasa.
Berkali-kali. Tak kuduga diawal acara, namamu disebut diantara ribuan orang
yang hadir dalam gedung elit itu. seketika air mata ibu mengalir membasahi
pipi. Tak lama terdengar suara dari arah depan (sang pembawa acara) menyebut
nama Ibu dan Bapak untuk mempersilakan naik ke podium bersamamu. Betapa waktu
itu degup kencang begitu membuncah. Melihatmu menerima penghargaan dari pihak
rektor dan jajaran guru besar universitas. Alhamdulillah, ingin rasanya Ibu
langsung sujud syukur di atas mimbar. Itupun tak hanya sekali. Bahkan nama Ibu
dan Bapak disebut dan dipersilakan selama 3 kali banyaknya. Andaikan
orang-orang bisa mendengar kata hati, pastilah mereka akan mendengar bisikan
keras dariku bahwa Betapa aku sangat bersyukur kepada Allah dikaruniakan anak
sepertimu.
Putri kecilku, ibu baru tersadar
bahwa kini engkau telah beranjak dewasa. Sepertinya baru kemaren engkau merengek-rengek dibelikan jajan dan bermain
diantara pepohonan sawah ladang. Sementara kawan sepermainamu kini banyak yang
sudah melepas masa lajang. Adapula yang menggendong buaian. Sementara engkau masih
saja betah untuk mengukir mimpi dan berkarya di sana. Di sebuah kota yang
katamu istimewa.
Sejatinya Ibu selalu mendukung apa
yang menjadi pilihanmu. Apapun itu. tak terkecuali. namun ada satu hal Nak,
dengarkan ibu. Lihatlah Ibu. Kini Ibu semakin menua. Tenaga tak sekuat dahulu.
Uban putih mulai menyapu. Seringkali daya tahan tubuh melemah secara tak
menentu. Saat engkau memiliki sedikit waktu senggang, maka pulanglah. Datanglah
dan tengok Ibu yang saat ini berbaring lemah. hadirmu setidaknya mengobati
rindu. Sering-seringlah berkunjung. Sebelum seorang pria sejati yang mengambil
alih tanggung jawab Ibu dan Bapak atas engkau datang. Karena di saat engkau
menikah nanti, pastilah engkau akan lebih jarang lagi datang kemari. Disaat
itu, Ibu tak lagi mampu menahanmu. Aaaahhhhhhh
sudahlah. Bahkan seharusnya itu adalah tanggung jawabku. Sebagai seorang ibu
selayaknya mencarikan pendamping terbaik untukmu. Dia yang akan menemanimu
membangun masa depan dunia dan akhirat. Tapi apalah daya, biarlah sang waktu
yang menjadi jawaban.
Di akhir bait ini akan kusampaikan
padamu. Anaku sayang…………terkadang tak semua cinta itu terungkapkan lewat kata.
Tak semua bisik rindu itu ternyatakan oleh bait. Dalam diam, Ibu mencintaimu.
Diantara ribuan omelan ini Ibu menjagamu. Tak usah kau tahu seberapa ibu
bahagia memiliki anak sepertimu. Tak perlu engkau ukur seberapa berat
perjuangan yang mesti ibu korbankan. Tanpa kata, binar kebanggaan ibu atasmu
selalu berpendar. Karena inilah caraku. Menyayangimu. Karena aku lah ibumu. Yang
telah mengandung, merawat dan membesarkanmu. Dari dulu kini, nanti atau sampai
kapanpun akan tetap sama.