Lakukanlah Kebaikan Sekecil Apapun
Sebagai seorang
manusia yang beriman, kita meyakini bahwa hidup manusia bermuara pada dua hal. Yakni
surga atau neraka. Pada saatnya nanti hari pengadilan tertinggi itu kan tiba. Ada
banyak pasang mata kusut tanda penyesalan manusia. Isyarat penyesalan agaknya
terbagi menjadi 2 sebab. Pertama, manusia menyesal akan segala waktu yang ia
sia-siakan dengan bermaksiat pada Allah, sehingga denganya tidak tersisa
sedikitpun melainkan dosa-dosa tadi melahap amalan baik yang pernah diperbuat. Yang
kedua, penyesalan seorang mukmin yang terjadi saat Seluruh kebaikan yang
dilakukan selama di dunia kurang maksimal.
Semoga saja
kita dihindarkan dari golongan manusia yang menyesal karena point pertama. Agaknya
dalam kesempatan kali ini, penulis ingin sedikit berbagi terkait point yang
kedua. Yahh, tentang kebaikan. Kebaikan sebagai bentuk representasi dari
ketaqwaan seorang hamba kepada rabb-Nya. Menaati perintahNya pun menjauhi
laranganNYA.
Suatu ketika
dikisahkan ada salah seorang sahabat yang menghadapi sakaratul maut. Kala itu
sahabat tadi didampingin oleh istrinya. Pada saat menjelang ajal, tidak ada
kata lain yang diucapkan oleh sahabat tadi melainkan 3 hal. Itupun ia ucapkan
dalam keadaan tersengal-sengal dan terdengar kurang jelas. Ucapan tadi
berbunyi:
Andai lebih jauh lagi ...............
Andai masih baru.....................
Andai semuanya...................
Istri seorang
sahabat tadi merasa khawatir dan sempat menangis kalau saja suaminya meninggal
dalam keadaan kurang baik. Hingga sesaat setelah sahabat tadi meninggal dan
dimakamkan, Rasulullah SAW datang untuk takziyah. Disana rasulullah berkata
kepada istri sahabat yang meninggal tadi, “Wahai
fulanah sesungguhnya apa yang diucapkan oleh suamimu itu tidaklah keliru.” Artinya
saat itu rasulullah sedang menenangkan hati sang istri tadi bahwa suaminya
adalah orang yang sholih.
Dihadapan para
sahabat yang melayat, Rasulullah lantas berkata, “Para sahabat ku, maukah kalian aku ceritakan apa maksud dari ketiga
kalimat yang diucapkan almarhum tadi?”
Para sahabat
yang melayat menjawab, “baik ya
Rasulullah, coba ceritakan kepada kami apa maksud dari ketiga perkataan tadi?”
Rasulullah lantas bercerita. Kalimat yang pertama maksudnya adalah
suatu ketika saat si fulan masih hidup, ia berjalan menuju ke masjid untuk
shalat berjamaah. Ditengah perjalanan ia melihat sosok laki-laki buta sedang
terseok-seok karena tidak ada yang membantu memberikan petunjuk jalan. Alhasil sahabat
tadi menuntun si buta hingga tiba di masjid untuk beribadah. Ia mengucapkan Andai
Lebih Jauh Lagi, karena pada saat sakaratul maut ia didatangi oleh malaikat
yang menampakkan bukti kebaikanya. Amalan tersebut ternyata memiliki balasan
pahala yang melimpah. Lantas ia menyesal, andai saja ia tahu amalan sesederhana
itu memiliki bobot yang berlipat ganda di sisi Allah, tentu ia akan menuntun si
buta tadi melewati jalur yang lebih jauh lagi menuju masjid. Agar ia
mendapatkan balasan yang lebih besar lagi.
Teruntuk kalimat yang kedua, andai masih baru. Pada suatu ketika Arab
dilanda musim dingin yang amat sangat. Pada saat keluar rumah untuk menuju suatu
tempat, ia tidak sengaja melihat ada seorang laki-laki yang hampir terkapar karena
kedinginan. Akhirnya si fulan memberikan salah satu dari 2 jubah yang ia pakai
kepada laki-laki tadi. Pada saatnya tadi, Ia dinampakkan bahwa ternyata jubah
yang ia berikan tersebut mendapatkan pahala yang besar disisi Allah, dan lantas
ia menyesal karena memberikan salah satu jubah yang sudah kusam. Andai waktu
itu ia memberikan jubah yang masih baru mungkin ia akan mendapatkan limpahan
kebaikan yang tiada terkira.
Teruntuk maksud dari kalimat yang ketiga. Pada saat itu si fulan hendak
makan bersama keluarga. Tidak ada makanan lain yang ia miliki selain sepotong
roti. Namun di saat yang sama dari balik pintu rumah terdengar suara rintihan seseorang.
Begitu pintu dibuka, ternyata ada seorang pengemis yang kelaparan. Akhirnya ia
memutuskan untuk memotong roti yang hanya 1 biji tadi menjadi 2 bagian. yang sebagian diserahkan kepada pengemis dan
sebagian sisanya untuk ia makan bersama keluarga. Ia tidak menyangka bahwasanya
sepotong roti yang ia berikan tadi mendapatkan timbangan kebaikan yang besar di
sisi Allah SWT. Dan ia merasa menyesal mengapa waktu itu ia tidak serahkan saja
semua roti tadi ke pengemis tadi agar ia mendapatkan pahala yang sempurna.
Dari cuplikan
kisah tadi, kita mampu menukilkan sebuah pesan sederhana yang cukup mendalam. Yakni
amalan sahabat tadi kalau dirunut mungkin “hanya”
sekedar menuntun orang buta, memberikan jubah (baju) yang sudah tidak lagi baru,
dan berbagi sepotong roti. Siapa sangka nyatanya amalan “sesederhana” itu mendapatkan timbangan yang berat di sisi Allah
SWT.
Sahabat sekalian,
ternyata sebuah kebaikan yang tidak dilaksanakan secara maksimal akan kita
sesali di akhirat nanti. Semoga kita termasuk kedalam golongan orang-orang yang
tidak meremehkan sebuah kebaikan sekecil apapun. Karena nyatanya timbangan
kebaikan Allah itu berbeda jauh dengan timbangan manusia dalam kacamata dunia. Bisa
jadi sebuah kebaikan yang kita anggap kecil nan remen-temeh itu memiliki bobot
yang berat di sisi Allah, pun bisa juga kebaikan yang kita rasa besar nyatanya
tak lebih besar nilainya dibanding buih di lautan yang terhempas.
Artinya apapun
amanah yang kita emban saat ini, lakukan saja dengan totalitas. Tidak ada
jaminan bahwa sekaliber “ustad/ustadzah” yang menyampaikan materi jauh lebih
mulia dari orang-orang yang baru saja hijrah dan terbata. Bisa jadi kita yang
mungkin hanya mampu menggelar tikar untuk memberikan kenyamanan kepada jamaah
yang akan mengahdiri majlis, adalah jauh lebih mulia dibandingkan pengisi
acaranya. Tiada yang tak mungkin bagi Allah.
Bisanya kita
cenderung akan totalitas apabila mendapatkan amanah yang besar. Saat kita
mendapatkan amanah yang sifatnya “pelengkap” misal sebagai staf atau jundi,
lantas kita hanya memberikan kontribusi yang biasa-biasa saja. Padahal tidak
menutup kemungkinan kita yang saat itu posisinya sebagai bawahan bisa memiliki
ide-ide yang brilian dan kontribusi yang besar terhadap kinerja-kinerja
pembangunan dibanding qiyadah kita.
Kita sebagai
generasi pemuda muslim masa kini seyogyanya ikut meneladani mentalitas pejuang
yang dimiliki para sahabat. Meski pada zaman sekarang sepertinya jauh panggang dari api. Bagaimana tidak,
saat penguasa negeri ini yang abu-abu tendensinya pada kebaikan meluap-luap dan
heroik menduduki jabatan yang strategis. Pasca lengser, seolah tak pernah
terdengar lagi gaung dan kontribusinya. Terlebih jika dicopot dari jabatan,
kebanyakan elit negeri ini lantas merajuk dan tak sedikit yang saling menyulut
api peperangan. Sungguh ini adalah sebuah ironi. Kondisi ini sangatlah kontras
dengan para pemimpin pada masa sahabat.
Alangkah indahnya
jika kita meneladani akhlak para sahabat rasulullah yang bersegera dalam kebaikan
dan totalitas dalam segala peranya. Sebut saja Khalid bin Walid yang bahkan
dijuluki sebagia pedang Allah yang terhunus. Suatu ketika ia dipecat jadi
panglima perang dan diturunkan dari jabatan oleh amirul mukminin umar bin
khattab. saat itu khalid lantas bertanya,
“Atas dasar apa engkau memecatku wahai Umar?”
Umar
menjawab, “sesungguhnya engkau tidak
melakukan kesalahan apapun”.
Begitu terdengar
jawaban Umar, Khalid lantas diam dan menerima keputusan Umar dengan gentlenya. Hingga suatu saat pasukan
muslim melakukan perjalanan untuk perang Yarmuk, terlihat Khalid ikut beserta
rombongan kaum muslimin.
Sahabat pun
bertanya, “Wahai Khalid, bukankah engkau
telah dicopot dari jabatan perang oleh Umar? Lantas mengapa engkau tetap ikut
berperang?”
Khalid dengan
jiwa kesatriyanya lantas menjawab dengan lantang, “sesungguhnya aku berperang bukan untuk Umar, namun Untuk Tuhanya Umar”.
Begitulah mentalitas
dan jiwa kesatria. Seorang pejuang akan terus berjuang tak peduli ia pemilik
mimbar atau bukan. Seorang pejuang akan terus bertandang pada kebaikan. Seorang
pejuang akan terus memberikan kerja-kerja nyata bagi perbaikan. Seorang pejuang
tak akan gentar dengan aral badai yang melintang. Baginya cukuplah Allah SWT
sebagai penawar atas segala kelelahan selama
di dunia dan hanya kepadaNya semua bermuara.
Penilaian
yang bagus dari manusia itu hanyalah bonus. Dan sekaligus bisa memberangus
apabila kita kemudian menjadi riya’ terhadap amal perbuatan kita. Maka seyogyanya
mari kita kembalikan semua kebaikan yang dilakukan hanya pada penilaian dan
ridho Allah SWT semata. Kuncinya do your best self, ikhlas, semangat dan
istimror (keberlanjutan amal).
Waalahua’lam bisshowab.