CINTA
antara Ketegasan dan Kelembutan
Dialah sosok yang
berhati lembut nan memiliki akhlak yang mulia. Abu Bakar Ash Shidiq, khalifah
yang ditunjuk kaum muslimin sepeninggal Rasulullah SAW wafat. Abu Bakar terkenal
akan kedermawanannya dan kekokohan aqidahnya dikalangan kaum muslimin. Betapa tidak,
ia sosok yang sangat cepat meneteskan air mata lagi penyayang terhadap sesama. Dia
juga sosok yang selalu menemani perjuangan panjang Rasulullah dikala awal
berdakwah yang dipenuhi tantangan dan penyerangan dari berbagai pihak,
membersamai saat hijrah, hingga islam menunjukan taringnya (terbela kehormatannya)
di belahan negeri Jazirah Arab sampai Rasul SAW wafat. Apa saja yang dilakukan
oleh rasulullah, selalu ia teladani dan amalkan tanpa menyisakan satupun amalan
yang tertinggal.
Umar bin Khattab yang memiliki kegigihan pun (bahkan dikatakan Syaitan pun takut padanya)
merasa “iri” terhadap Abu Bakar dikarenakan kesholihanya. Hingga pada suatu
ketika Madinah dilanda musim paceklik,
panas, dan kering pasca perang Hunain. Saat
itu rasulullah sedang mempersiapkan untuk melakukan perlawanan kepada Bangsa Romawi
yang dikabarkan akan melakukan penyerangan ke Madinah. Alangkah beratnya pada
saat itu ditengah kondisi padang pasir yang sangat panas apalagi untuk
melakukan perjalanan jauh., sehingga Rasul membuka peluang berderma bagi para
sahabat. Dan masya ALLAH begitu Rasulullah berkata demikian, sambutan para
sahabat sangat luar biasa. Mereka berlomba-lomba untuk memberikan harta yang
mereka miliki kepada Rasulullah guna mendukung kepentingan jihad (perang tabuk).
Diriwayatkan bahwa
saat itu Usman Bin Affan mendermakan 10.000 dinar, 50 ekor kuda, 300 unta. Umar
berencana menyaingi Abu Bakar dengan memberikan setengah dari seluruh harta
kekayaan yang ia miliki pada Rasulullah. Tak selang berapa lama, Umar lantar
terperangah karena ternyata Abu Bakar justru mendermakan seluruh harta yang ia
miliki.
Rasulullah pun sempat bertanya, “Jika engkau serahkan seluruh kekayaanmu,
lantas apakah kiranya engkau tinggalkan untuk istri dan keluargamu wahai Abu
Bakar?”
Abu Bakar menjawab , “Aku tinggalkan untuk mereka, Allah dan
RasulNya”.
Begitulah Abu
Bakar, selalu bersegera dalam kebaikan secara totalitas. Menjadi garda terdepan
yang paling siap siaga.
Saat Rasulullah
wafat, terjadilah beberapa perdebatan di kalangan kaum muhajirin dan anshar
untuk memilih siapa khalifah selanjutnya yang akan memimpin kaum muslim.
Abu Bakar
memilih Umar bin Khattab untuk menjadi imam kaum muslimin karena denganya ia
memuliakan islam dan umat muslim menjadi percaya diri menunjukkan keislaman di
hadapan kaum Qurays.
Umar pun lantas berkata, “Demi Allah, aku maju lalu leherku ditebas,
itu lebih aku sukai dari pada memimpin kaum yang didalamnya ada Abu Bakar Ash
Shidiq”.
Bergegas Umar
maju dan membaiat Abu Bakar, dan seketika suasana perdebatan antara kaum
muhajirin dan anshar berubah menjadi cair. Kaum muslimin turut membaiat Abu
Bakar
.
Disaat itu
Abu Bakar lantas menaiki tangga yang dipergunakan untuk berpidato. Tangga tersebut
terdiri atas 3 tingkat. Hanya saja Abu Bakar hanya menaiki dan duduk di tingkat
yang kedua karena ia merasa tidak pantas menduduki anak tangga yang paling atas
(tempat Rasulullah biasa memberikan khutbah). Ia terdiam sejenak.
Abu bakar menyampaikan pidato
singkatnya, “ Aku bukanlah yang terbaik diantara
kalian. Jika aku berlaku baik maka bantulah aku. Jika aku salah maka ingatkan
aku. Orang yang lemah akan jadi kuat sampai aku berikan hak untuknya. Sedang orang
yang kuat akan jadi lemah sampai aku ambilkan hak orang lemah atas orang yang
kuat ini. taatilah aku selama aku taat pada Allah dan RasulNya. Jika aku
durhaka, maka kalian tak perlu taat.”
Begitulah Abu Bakar, sosok yang
memiliki jiwa besar. Ia selalu menilai dirinya tidak lebih baik dari orang
lain.
Dikisahkan bahwa pada suatu
ketika Umar masuk ke rumah Abu Bakar. Didapatilah pada saat itu Abu Bakar
sedang menangis tersedu-sedu.
Abu bakar, “jangan berikan amanah ini kepadaku wahai Umar, ini adalah beban yang
sangat berat”.
Abu Bakar
merasakan ini adalah perkara yang berat dikarenakan ia hanyalah manusia biasa
yang harus menggantikan kepemuimpinan yang sebelumnya dijabat oleh seorang
manusia mulia yang menjadi Nabi sekaligus Rasul SAW.
Tak lama
setelah itu muncullah gejolak dari kalangan kaum muslimin terutama yang baru
saja masuk islam pasca fathu makkah.
Ada diantara
kaum muslim yang menolak untuk membayar zakat. Bagi mereka zakat yang dibayar
untuk Rasulullah SAW. Setelah beliau wafat, maka usai sudahlah kewajiban
tersebut. Mereka bahkan tidak
segan-segan untuk memprovokasi orang lain untuk tidak taat pada Abu Bakar dan
melakukan pemberontakan.
Prihatin akan kondisi
penyimpangan yang sedemikian rupa, akhirnya Abu Bakar bertindak, “ Andai saja sekedar seutas tali unta yang
biasanya mereka bayarkan untuk rasulullah, dan saat ini mereka enggan untuk
membayar, maka akan aku perangi mereka.”
“Bagaimana bisa kita akan memerangi atau menumpahkan darah orang yang
telah bersyahadat wahai Abu Bakar?”, Kritik Umar.
“Tidak boleh dibunuh, kecuali dengan haknya,” tegas Abu Bakar.
Saat Abu
Bakar akan mengirimkan pasukan yang memerangi para pemberontak yang enggan
membayar zakat, Abu Bakar masih membuka ruang musyawarah dari para sahabat. Meski
pada akhirnya Abu Bakar tetap akan bersikukuh memegang keputusanya.
Lantas Umar berkata, “Setelah itu Allah SWT melapangkan dadaku
untuk mengikuti keputusan Abu Bakar”.
Disini kita lihat ada perbedaan yang cukup kontras antara Umar dan
Abu Bakar. Biasanya kita lihat Abu Bakar sebagai sosok yang lembut tapi dalam
situasi ini ia tegas. Sedang Umar yang biasanya tegas, dalam situasi ini menjadi
lunak dan menyarankan untuk tak perlu memerangi kaum pemberontak.
Pada saat
masa Rasulullah Muhamad SAW, tak ada ruang dari Abu Bakar untuk melengkapi. Tersebab
kepemimpinan Rasulullah saja sudah nampak sempurna atas karomah dariNYA. Berbeda
ketika ia yang memimpin. Ketegasan itu ada.
Ketegasan Abu
Bakar juga nampak pada keputusanya memberangkatkan pasukan muslim yang dipimpin
oleh Usamah bin Zaid (saat itu berusia 14 tahun) menghadapi Romawi di Syam atas
kehendak Rasulullah sebelum wafat. Padahal disana juga telah berjejer
dikalangan pasukan muslim Khalid bin Walid, Usman bin Affan, dan para sahabat
senior lainya. Sahabat dikalangan senior kala itu berfikir untuk melanjutkan
perjalanan pulang ke Madinah. Bahkan disaat yang sama Usamah bin Zaid juga
menyarankan untuk menarik pasukan ke Madinah saja. Mengingat Madinah kala itu
sedang genting dikarenakan banyaknya pemberontakan dan mulai bermunculanya
nabi-nabi palsu.
Abu bakar : “Pasukan kaum muslimin harus tetap diberangkatkan ke Syam, tak ada
sekecil celahpun untuk menarik diri dari perjalanan ini”.
Umar : “Kalau begitu, bagaimana kalau panglima perangnya (Usamah bin Zaid)
diganti saja?”
Abu Bakar menimpali sembari
menarik jenggot Umar, “ Demi Allah andai
srigala mencabik-cabik sekujur tubuhku, maka aku akan tetap tidak mengubah apa
yang Rasul SAW tetapkan”
Abu bakar sama sekali tidak bergeming
untuk membuka ruang diskusi disini. Karna jelas bahwa ini wasiat dari
Rasulullah SAW.
Di tengah perjalanan menuju Syam,
Usamah (panglima perang) yang naik kuda, sedang Abu Bakar berjalan kaki ia
mengatakan bahwa, “Wahai Abu Bakar,
biarkan saya berjalan diantara pasukan lain dan engkau naiklah ke atas kuda ini”.
Abu Bakar, “ Demi Allah aku tidak akan membiarkanmu turun dan aku tidak akan
pernah naik. Biarkan kaki ini lusuh untuk sementara waktu karena berjalan
memperjuangkan agamaNYA, dan kelak kaki ini akan jadi saksi saat menapak di
Surga”.
Sosok selembut
Abu Bakar yang mudah sekali meneskan air mata bahkan tampak begitu tegas pada
saat ketegasan itu dibutuhkan. Dan disini Abu Bakar telah mengajarkan pada kita
sebuah Ibrah indah yang didapat atas ketegasan dan kejeniusan
beliau dalam melabuhkan pilihan. Yakni :
Tersebab kegigihan Abu Bakar
tetap memilih untuk memberangkatkan pasukan kaum muslimin melawan Romawi di
Syam, meski di Madinah sedang dilanda prahara. Keputusan tersebut rupanya membuat
kekhawatiran diantara kaum pemberontak jika melakukan perlawanan kepada kaum
muslimin. Karena mereka mengaggap bahwa pasukan muslim itu sangat kuat. Tidak mungkin
kaum muslimin akan berangkat ke Syam apabila mereka dalam keadaan lemah pasca
meninggalnya rasulullah SAW.
Wallahua’lam bissowab
Ditulis dengan sedikit
pengembangan dari penulis atas inspirasi dari kajian sejarah islam bersama Ust.
Deden Anjar (Yogya, 26-09-2017)
semoga bermanfaat.