MAKALAH DASAR PERLINDUNGAN TANAMAN
(DPT)
PENYAKIT-PENYAKIT PENTING
PADA KOMODITAS TANAMAN HIAS KRISAN &
GLADIOL
Disusun
Oleh:
NAMA
KELOMPOK
|
||
TANTRIATI
|
:
|
12011025
|
HELMI ADI
|
:
|
12011005
|
FERI ANDHIKA
|
:
|
12011035
|
MUKHLIS ARDIYANSYAH
|
:
|
12011017
|
PROGRAM
KEAHLIAN AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS
AGROTEKNOLOGI
UNIVERSITAS
MERCU BUANA YOGYAKARTA
2013
1. TANAMAN KRISAN
A. Nama
Penyakit : Karat putih
B. Inang
: Krisan (Dendrathema
grandiflora)
C. Arti
penting penyakit :
Menurut
Kristina et al. (1994), serangan penyakit karat putih (Pucciniahoriana P.
Henn.) dapat menurunkankesegaran bunga krisan (vase-life) menjadi hanya 5 hari,
padahal untuk bunga yang sehat tanpa cacat, kesegarannya dapat bertahan hingga
12 hari pada suhu ruangan (27–29°C). Kehilangan hasil krisan akibat penyakit
karat putih belum pernah dihitung secara tepat. Kehilangan hasil diperkirakan
mencapai 30% karena penurunan nilai jual dan penundaan waktu panen (Suhardi,
2009a). Di luar negeri, misalnya di Turki, kehilangan hasil dapat mencapai 80%
(Gore, 2007). Sementara di New England, serangan P. horiana menyebabkan
kehilangan hasil 100%.
D. Pathogen : Jamur Puccinia horiana
Gambar 1. Hialin
teliospora dari Puccinia horiana (A) dan tangkai teliospora (B)
(Szakuta dan Butrymowicz 2004).
Penyakit
karat putih pada krisan disebabkan oleh cendawan P. horiana (Basidiomycetes).
Cendawan ini bersifat parasit obligat atau hanya hidup sebagai parasite pada
tanaman hidup. Pathogen penyakit karat putih menghasilkan dua jenis spora,
yaitu teliospora yang merupakan spora rihat dan basidiospora yang dihasilkan
oleh teliospora yang telah berkecambah.
E. Gejala
penyakit & gambar:
Gambar 2. Gejala awal
dan gejala lanjut penyakit karat putih pada tanaman krisan
(Hanudin et al. 2010).
Pada
umumnya gejala penyakit akan timbul apabila terjadi interaksi antara tiga
faktor, yaitu patogen yang virulen, inang yang rentan, dan lingkungan yang
kondusif untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Hal ini dikenal dengan sebutan
segitiga penyakit (Agrios,1988). Perkembangan gejala serangan P. horiana pada
daun krisan dimulai dengan munculnya bercak berwarna kuning pada permukaan atas
daun, yang kemudian diikuti dengan perubahan warna pusat bercak dari putih
menjadi coklat tua. Pada permukaan bawah daun terbentuk pustul yang pada
awalnya berwarna merah muda, selanjutnya pustul membesar, berwarna putih, dan
akhirnya tanaman mati (Gambar 2). Pustul karat sebenarnya merupakan kumpulan
teliospora yang akan berkecambah membentuk basidiospora yang kemudian
menginfeksi tanaman (Suhardi,2009a).
F. Epidemi
penyakit :
1) Siklus
penyakit
Pathogen
penyakit karat putih menghasilkan dua jenis spora, yaitu teliospora yang
merupakan spora rihat dan basidiospora yang dihasilkan oleh teliospora yang
telah berkecambah. Teliospora berkecambah bila kelembapan udara sangat tinggi
(96−100%). Teliospora dapat bertahan selama delapan minggu pada kondisi
kelembapan kurang dari 50%. Basidiospora sangat rapuh, mudah disebarkan oleh
angin atau percikan air. Apabila kelembapan udara mencapai 80% maka basidiospora
akan mati dalam waktu lima menit. Pada kondisi kelembapan 81−90%, basidiospora
dapat bertahan tanpa tanaman inang selama 60 menit.
Perkecambahan
teliospora membutuhkan suhu 4−23°C (optimum 17°C) dan kelembapan > 90%,
sedangkan perkecambahan basidiospora berlangsung pada kisaran suhu 17−24°C
(optimum 17°C) dan kelembapan > 90% (MacDonald 2001). Proses infeksi
membutuhkan waktu 2 jam dan dalam waktu 24 jam sekitar 50% populasi
basidiospora sudah menginfeksi tanaman.
Gejala
penyakit karat muncul 7−10 hari setelah infeksi pada suhu > 24°C dan 8 hari
pada suhu 30°C (MacDonald 2001). Teliospora berukuran 14,5 μm x 41,5 μm, hialin
kuning terang, dan terdiri atas dua sel ramping pada sekatnya (Gambar 1).
Teliospora dapat ditemukan pada berbagai stadia pertumbuhan tanaman (Szakuta
dan Butrymowicz 2004).
Proses
infeksi dimulai saat basidiospora berkecambah di atas permukaan daun yang
berair. Infeksi biasanya terjadi pada malam sampai pagi hari (suhu 17°C), dan
berlangsung selama 2 jam.
2) Penyebaran
penyakit
Penyakit
karat putih pada krisan pertama kali dilaporkan di Asia Timur dan
diidentifikasi pada tahun 1895 oleh P. Henning. Sejak tahun 1963, P. horiana
dilaporkan menginfeksi pertanaman krisan di beberapa Negara seperti Inggris,
Selandia Baru dan Afrika Selatan, serta Australia.
P.
horiana dilaporkan masuk ke Indonesia sekitar tahun 1990, diduga melalui bibit
krisan impor yang tidak terdeteksi karena gejala penyakit belum muncul
(Djatnika et al. 1994a). Fenomena demikian dapat terjadi pada pathogen yang
berinteraksi dengan tanaman yang menjadi inangnya. Selain melalui bibit,
patogen dapat menular melalui angin, air, perlakuan pemeliharaan, pakaian pekerja,
dan peralatan pertanian. Dengan cara demikian, penyakit karat putih menyebar
dengan cepat ke lokasi pertanaman baru yang sebelumnya belum pernah ditanami
krisan. Lebih kurang 28% bibit krisan yang diproduksi oleh petani telah
terinfeksi oleh penyakit karat (Suhardi 2009a). Saat ini penyakit tersebut
telah menyebar luas di seluruh sentra produksi krisan di Indonesia. Penggunaan
benih sehat merupakan langkah strategis untuk mengurangi sumber inokulum
penyakit karat putih.
3) Faktor-faktor
lingkungan yang mendukung perkembangan penyakit
Seperti
yang dikemukakan oleh Hanudin et al.
(2004) bahwa lingkungan yang lembab,
banyak hujan dan kecepatan angin yang tinggi dapat meningkatkan intensitas
serangan penyakit karat pada tanaman krisan. Tempat yang Memiliki kelembaban
udara yang tinggi dan merupakan daerah pertanaman krisan selama bertahun-tahun
menjadi penyebab sumber inokulum di daerah tersebut selalu tersedia.
4) Cara
bertahan pathogen
Jamur
Puccinia horiana termasuk kedalam kelompok obligat yang hanya hidup dan
berkembangbiak pada jaringan atau tanaman yang masih hidup. Biasanya ketika
tidak ada tanaman inang utama maka jamur tersebut akan tumbuh dan hidup di
inang alternative seperti gulma.
G. Pengendalian :
1) Penggunaan varietas toleran seperti
Puma White, Tiger, Yellow West, dan Rhino, varietas introduksi yang sangat
resisten, atau varietas lokal seperti kultivar Puspita Nusantara, Puspa Kania,
Dwina Kencana, Dwina Pelangi, Pasopati, Paras Ratu, Wastu Kania, Ratna Wisesa,
dan Tiara Salila.
2) Perompesan daun terinfeksi yang mampu
menurunkan intensitas penyakit karat sampai 44% pada tahap awal, tetapi pada
tahap selanjutnya menekan serangan penyakit sekitar 3–21%.
3) Penyiraman pada pagi hari (pukul
7.00), yang dapat menurunkan intensitas penyakit karat yang lebih baik
dibandingkan dengan penyiraman pada siang atau sore hari.
4) Penggunaan biopestisida berbahan
aktif bakteri antagonis Bacillus subtilis BaAKCs-3, Pseudomonas fluorescens
Pf-3 Sm, dan Corynebacterium-2, yang masing-masing efektif mengendalikan P.
horiana 38,49% dan mempertahankan hasil panen 14,58%.
5) Penggunaan fungisida sintetis
propineb atau mankozeb yang dapat menurunkan intensitas penyakit karat 20–49%.
Pencelupan setek pucuk krisan dalam fungisida miklobutanil konsentrasi 100 mg/l
sebelum tanam efektif mengeradikasi penyakit karat putih.
DAFTAR PUSTAKA
Agrios, G.N. 1988. Plant diseases
epidemiology.p. 156–179. In Plant Pathology. Third Ed. Academic Press, Inc.,
New York and London.
Djatnika, I., D. Kristina, dan L.
Sanjaya 1994a.Ketahanan beberapa kultivar krisan terhadap penyakit karat.
Buletin Penelitian Tanaman Hias 2(2): 19−25 .
Gore, M.E. 2007. White rust outbreak on
chrysanthemum caused by Puccinia horiana in Turkey. New Diseases Report.
http://www.bspp.org.uk/ndr/jan2008/2007-81.asp.[17 May 2010].
Hanudin, W. Nuryani, and K. Budiarto.
2008a.Effectiveness of Bacillus subtilis and Pseudomonas fluorescens in liquid
for-mulation to control important diseases on chrysanthemum and chinese
cabbage. Jurnal Ilmu Pertanian “Agrivita” 30(3): 255–262.
MacDonald, L. 2001. Chrysanthemum White Rust.
Pest Management. Gov. British Columbia.http://www.agf.gov.bc.ca/cropprot/cwrust.htm.
[17 May 2010].
Suhardi. 2009a. Sumber inokulum, respons
varietas, dan efektivitas fungisida terhadap penyakit karat putih pada tanaman
krisan.J. Hort. 19(2): 207–209.
Szakuta, G. and J. Butrymowicz. 2004.
Diagnostic protocols regulated pests. European and Mediterranean Plant
Protection Organization (EPPO), Agricultural Research Center (ARC), Dept. of
Crop Protection, Merelbeke,Belgium. EPPO Bull. 34: 155−157.
2. TANAMAN GLADIOL
A. Nama
Penyakit : Layu Fusarium
B. Inang
: Gladiol
(Gladiolus hybridus)
C. Arti
penting penyakit :
Salah
satu permasalahan yang dihadapi dalam budidaya gladiol adalah ketersediaan
bibit sehat yang sampai sekarang masih sukar dipenuhi. Salah satu penyakit
penting pada tanaman gladiol adalah penyakit layu Fusarium yang menyebabkan
banyak tanaman mati muda. Berdasarkan pengalaman membeli bibit gladiol dari
petani jawa barat, diperoleh lebih dari 50% bibit terserang Fusarim
oxysporumf.sp.gladioli. kerugian yang dapat dihitung jika dihubungkan dengan
permintaan bibit gladiol di Jakarta sebesar 0.5-0,7 milyar/musim (Nuryani
et.al, 2001).
D. Pathogen : jamur Fusarium oxysporum
Cendawan
F. oxysporum tergolong kedalam kingdom : Mycetae, divisi : Mycota, subdivisi :
Deuteromycotina, klas : Hypomycetes, ordo : Hyphales (Moniliales), family :
Tuberculariaceae, genus : Fusarium, spesies : F. oxysporum (Agrios, 1996).
Miselium
cendawan ini bersekat terutama terdapat di dalam sel, khususnya di dalam
pembuluh kayu. Disamping itu cendawan membentuk miselium yang terdapat diantara
sel-sel, yaitu dalam kulit dan di jaringan parenkim di dekat tempat terjadinya
infeksi (Semangun, 1994). Pada medium Potato Dextrose Agar (PDA) mula-mula
miselium berwarna putih, semakin tua warna menjadi krem atau kuning pucat,
dalam keadaan tertentu berwarna merah muda agak ungu. Miselium bersekat dan
membentuk percabangan. Beberapa isolat Fusarium akan membentuk pigmen biru atau
merah di dalam medium.
Di
alam cendawan ini membentuk konidium pada suatu badan buah yang disebut
sporodokium, yang dibentuk pada permukaan tangkai atau daun sakit pada tingkat
yang telah lanjut. Konidiofor bercabang-cabang rata-rata mempunyai panjang
70μm. Cabang-cabang samping biasanya bersel satu, panjangnya sampai 14 μm.
Konidium terbentuk pada ujung cabang utama atau cabang samping. Mikrokonidium
sangat banyak dihasilkan oleh cendawan pada semua kondisi, bersel satu atau
bersel dua, hialin, jorong atau agak memanjang, berukuran 5-7 x 2.5-3 μm, tidak
bersekat atau kadang-kadang bersekat satu dan berbentuk bulat telur atau lurus.
Makrokonidium berbentuk sabit, bertangkai kecil, kebanyakan bersel empat,
hialin, berukuran 22-36 x 4-5 μm. Klamidospora bersel satu, jorong atau bulat,
berukuran 7-13 x 7-8 μm, terbentuk di tengah hifa atau pada makrokoniudium,
seringkali berpasangan (Sastrahidayat, 1992).
Gambar
a. Cendawan F.oxysporum pada Gambar
b. Konidia cendawan F. oxysporum
media
PDA
E. Gejala
penyakit:
Gejala
yang menyolok dari penyakit layu fusarium pada awalnya adalah terjadinya
penguningan tepi daun yang lebih tua (Saragih, dkk., 2006). Bagian yang
terserang umumnya plumula dan radikal yang mengakibatkan pembusukan pada bagian
tersebut. Jamur dalam pertumbuhan dan perkembangannya memerlukan selulosa
sebagai sumber karbon dan energi (Winarsih dan Syafrudin, 2001). Selanjutnya
tanaman menjadi kerdil dan mudah patah. Pada gladiol subang terdapat bercak
hitam, kemudian berkembang menjadi lesion coklat kemerahan dan akhirnya
membusuk.
F. Epidemi
penyakit :
1) Siklus
penyakit
Daur
hidup Fusarium oxysporum mengalami fase patogenesis dan saprogenesis. Pada fase
patogenesis, cendawan hidup sebagai parasit pada tanaman inang. Apabila tidak
ada tanaman inang, patogen hidup di dalam tanah sebagai saprofit pada sisa
tanaman dan masuk fase saprogenesis, yang dapat menjadi sumber inokulum untuk
menimbulkan penyakit pada tanaman lain. Penyebaran propagul dapat terjadi
melalui angin, air tanah, serta tanah terinfeksi dan terbawa oleh alat
pertanian dan manusia
2) Penyebaran
penyakit
Cendawan
Fusarium sp. merupakan patogen tular tanah atau “soil-borne pathogen” yang
termasuk parasit lemah. Cendawan ini menular melalui tanah atau rimpang yang
berasal dari tanaman sakit, dan menginfeksi melalui luka. Luka tersebut dapat
terjadi karena pengangkutan benih, penyiangan, pembumbunan, atau karena
serangga dan nematoda.
Apabila kondisi lingkungan tidak
menguntungkan, cendawan bertahan hidup dalam bagian tanaman, baik di lapangan
maupun selama masa penyimpanan. Pada saat kondisi lingkungan menguntungkan,
cendawan akan tumbuh dan berkembang pada bagian tanaman dan menular ke bagian
tanaman lain. Walaupun tanah sudah tertular, gejala penyakit belum nampak pada
tanaman karena memerlukan waktu beberapa bulan dan bila digunakan sebagai bibit
sebagian besar tanaman akan terinfeksi cendawan patogen tersebut.
3) Faktor-faktor
lingkungan yang mendukung perkembangan penyakit
Cendawan
Fusarium oxysporum sangat sesuai pada tanah dengan kisaran pH 4,5-6,0; tumbuh
baik pada biakan murni dengan kisaran pH 3,6-8,4; sedangkan untuk pensporaan,
pH optimum sekitar 5,0. Pensporaan yang terjadi pada tanah dengan pH di bawah
7,0 adalah 5-20 kali lebih besar dibandingkan dengan tanah yang mempunyai pH di
atas 7. Pada pH di bawah 7, pensporaan terjadi secara melimpah pada semua jenis
tanah, tetapi tidak akan terjadi pada pH di bawah 3,6 atau di atas 8,8. Suhu
optimum untuk pertumbuhan cendawan Fusarium oxysporum adalah 200C dan 300C,
maksimum pada 370C atau di bawahnya, minimum sekitar 50C, sedangkan optimum
untuk pensporaan adalah 20-250C.
4) Cara
bertahan pathogen
Penyakit
layu Fusarium yang disebabkan oleh cendawan Fusarium oxysporum, termasuk dalam
kelompok penyakit tular tanah, yang dapat bertahan dalam waktu yang lama.
Patogen ini, umumnya menginfeksi pada bagian akar atau pangkal batang tanaman.
Gejala layu fusarium tampak pada bagian atas tanaman. Penyakit tular tanah
umumnya, sulit dikendalikan karena memiliki kisaran inang yang luas dan dapat bertahan
hidup dalam tanah dengan waktu yang lama, serta gejala awal sulit
diidentifikasi, akibatnya penyakit sering dapat diketahui ketika serangan sudah
lanjut.
G. Pengendalian :
1. Cara
kultur teknis dengan pemberian pupuk organik (kompos, pupuk kandang), penjarangan
anakan, dipotong (setelah 30 cm) kurang lebih 5 cm dari titik tumbuh, rotasi
dengan tanaman bukan inang (misalnya : pepaya, nenas, jagung dan lain-lain),
pembuatan drainase, sanitasi lingkungan pertanaman, menghindari terjadinya luka
pada akar, menggunakan benih sehat (bukan dari daerah serangan atau rumpun
terserang, benih dari kultur jaringan) atau benih baru setiap musim tanam,
sistem pindah tanam setelah tiga kali panen, maksimal tiga tahun, pengapuran
atau pemberian abu dapur untuk menaikkan atau menjaga kestabilan pH tanah, dan
penggunaan media ampas tebu yang ditambah urea dapat mengurangi perkembangan
organism pathogen (Anonim, 1993).
2. Cara
fisik/mekanis dengan penanaman di lahan yang terinfeksi F. oxysporum, bibit
tanaman terlebih dahulu dicelupkan ke dalam air hangat sekitar 45o C selama 15
menit atau dicelupkan ke dalam suspensi musuh alaminya, misalnya Pseudomonas
fluorescens. Cara genetika penanaman varietas yang tahan penyakit layu
fusarium, sesuai dengan kondisi setempat (Semangun, 1994).
3. Pengendalian
dengan cara biologi yaitu dengan aplikasi agens hayati misalnya Trichoderma
spp., Gliocladium sp., Pseudomonas fluorescent, Bacillus subtilis sebelum/pada
saat tanam (satu kilogram/lubang tanam) yang diintroduksi bersama dengan kompos
dengan perbandingan 1 : 10, atau pada bibit (100 g/bibit). Sedangkan cara kimia
semua alat yang digunakan didisinfektan dengan kloroks satu persen (bayclean
yang diencerkan 1 : 5), atau dicuci bersih dengan sabun, dan injeksi larutan
minyak tanah atau herbisida sistemik terhadap tanaman sakit dan anaknnya,
sebanyak 5 – 15 ml/pohon tergantung ukuran/umur tanaman. Injeksi ini dapat
diulangi hingga tanaman mati (Djatnika et al., 2003).
DAFTAR
PUSTAKA
Agrios, G.N.1996. Plant Pathology.
Penerjemah : Munzir Busnia dalam Ilmu Penyakit Tumbuhan. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta. 713 Hal.
Anonim, 1993. Wabah Penyakit Menyerang
Pisang di Lampung. Majalah Trubus 286. Th XXIV. September, Jakarta. Hal 16-17.
Djatnika et al.2003.Pengendalian Hama
Dan Penyakit Gladiol.Balai Tanaman Hias.Jakarta:Hlmn 35-42.
Semangun.1994.Penyakit-Penyakit Tanaman
Hortikultura Di Indonesia. Universitas Gadjah Mada Press.Yogyakarta.Hlmn
722-725.
Saragih,
dkk. 2006. Potensi agensia hayati dalam pengendalian penyakit
tanaman berwawasan lingkungan dan peranannya dalam meningkatkan sektor
agribisnis. hlm. 13–34.Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Purwokerto.
Winarsih dan Syafrudin, 2001. Kemangkusan
B. subtilis dan P. fluorescens dalam formulasi cair untuk pengendalian Fusarium
oxysporum f. sp dianthi pada anyelir. Jurnal Hortikultura (Edisi Khusus no. 1):
61−71.
(Nuryani
et.al, 2001). Pengendalian Layu fusarium sedap malam dengan Bio-GL
dan Bio-Tri. hlm. 335–339. Dalam Soedarmono (Ed.). Prosiding Kongres Nasional
XV dan Seminar Ilmiah PFI,Purwokerto.
Semangun,&
Sastrahidaya.1994. Peranan bahan organik pada pertumbuhan dan
daya antagonisme Trichoderma harzianum dan pengaruhnya terhadap Fusarium
oxysporum Jurnal Fitopatologi Indonesia 7(2): 76−82.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar