Sabtu, 10 Mei 2014

Makalah Dasar perlindungan Tanaman (Penyakit Pada Tanaman Hias)

MAKALAH DASAR PERLINDUNGAN TANAMAN (DPT)
PENYAKIT-PENYAKIT PENTING
PADA KOMODITAS TANAMAN HIAS KRISAN & GLADIOL


Disusun Oleh:
NAMA KELOMPOK
TANTRIATI
:
12011025
HELMI ADI
:
12011005
FERI ANDHIKA
:
12011035
MUKHLIS ARDIYANSYAH
:
12011017

PROGRAM KEAHLIAN AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS AGROTEKNOLOGI
UNIVERSITAS MERCU BUANA YOGYAKARTA
2013
1.      TANAMAN KRISAN

A.    Nama Penyakit                              : Karat putih
B.     Inang                                             : Krisan (Dendrathema grandiflora)
C.     Arti penting penyakit                    :
Menurut Kristina et al. (1994), serangan penyakit karat putih (Pucciniahoriana P. Henn.) dapat menurunkankesegaran bunga krisan (vase-life) menjadi hanya 5 hari, padahal untuk bunga yang sehat tanpa cacat, kesegarannya dapat bertahan hingga 12 hari pada suhu ruangan (27–29°C). Kehilangan hasil krisan akibat penyakit karat putih belum pernah dihitung secara tepat. Kehilangan hasil diperkirakan mencapai 30% karena penurunan nilai jual dan penundaan waktu panen (Suhardi, 2009a). Di luar negeri, misalnya di Turki, kehilangan hasil dapat mencapai 80% (Gore, 2007). Sementara di New England, serangan P. horiana menyebabkan kehilangan hasil 100%.
D.    Pathogen                                       : Jamur Puccinia horiana
 
Gambar 1. Hialin teliospora dari Puccinia horiana (A) dan tangkai teliospora (B)
(Szakuta dan Butrymowicz 2004).
Penyakit karat putih pada krisan disebabkan oleh cendawan P. horiana (Basidiomycetes). Cendawan ini bersifat parasit obligat atau hanya hidup sebagai parasite pada tanaman hidup. Pathogen penyakit karat putih menghasilkan dua jenis spora, yaitu teliospora yang merupakan spora rihat dan basidiospora yang dihasilkan oleh teliospora yang telah berkecambah.

E.     Gejala penyakit & gambar:
Gambar 2. Gejala awal dan gejala lanjut penyakit karat putih pada tanaman krisan
(Hanudin et al. 2010).
Pada umumnya gejala penyakit akan timbul apabila terjadi interaksi antara tiga faktor, yaitu patogen yang virulen, inang yang rentan, dan lingkungan yang kondusif untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Hal ini dikenal dengan sebutan segitiga penyakit (Agrios,1988). Perkembangan gejala serangan P. horiana pada daun krisan dimulai dengan munculnya bercak berwarna kuning pada permukaan atas daun, yang kemudian diikuti dengan perubahan warna pusat bercak dari putih menjadi coklat tua. Pada permukaan bawah daun terbentuk pustul yang pada awalnya berwarna merah muda, selanjutnya pustul membesar, berwarna putih, dan akhirnya tanaman mati (Gambar 2). Pustul karat sebenarnya merupakan kumpulan teliospora yang akan berkecambah membentuk basidiospora yang kemudian menginfeksi tanaman (Suhardi,2009a).
F.      Epidemi penyakit              :
1)      Siklus penyakit
Pathogen penyakit karat putih menghasilkan dua jenis spora, yaitu teliospora yang merupakan spora rihat dan basidiospora yang dihasilkan oleh teliospora yang telah berkecambah. Teliospora berkecambah bila kelembapan udara sangat tinggi (96−100%). Teliospora dapat bertahan selama delapan minggu pada kondisi kelembapan kurang dari 50%. Basidiospora sangat rapuh, mudah disebarkan oleh angin atau percikan air. Apabila kelembapan udara mencapai 80% maka basidiospora akan mati dalam waktu lima menit. Pada kondisi kelembapan 81−90%, basidiospora dapat bertahan tanpa tanaman inang selama 60 menit.
Perkecambahan teliospora membutuhkan suhu 4−23°C (optimum 17°C) dan kelembapan > 90%, sedangkan perkecambahan basidiospora berlangsung pada kisaran suhu 17−24°C (optimum 17°C) dan kelembapan > 90% (MacDonald 2001). Proses infeksi membutuhkan waktu 2 jam dan dalam waktu 24 jam sekitar 50% populasi basidiospora sudah menginfeksi tanaman.
Gejala penyakit karat muncul 7−10 hari setelah infeksi pada suhu > 24°C dan 8 hari pada suhu 30°C (MacDonald 2001). Teliospora berukuran 14,5 μm x 41,5 μm, hialin kuning terang, dan terdiri atas dua sel ramping pada sekatnya (Gambar 1). Teliospora dapat ditemukan pada berbagai stadia pertumbuhan tanaman (Szakuta dan Butrymowicz 2004).
Proses infeksi dimulai saat basidiospora berkecambah di atas permukaan daun yang berair. Infeksi biasanya terjadi pada malam sampai pagi hari (suhu 17°C), dan berlangsung selama 2 jam.
2)      Penyebaran penyakit
Penyakit karat putih pada krisan pertama kali dilaporkan di Asia Timur dan diidentifikasi pada tahun 1895 oleh P. Henning. Sejak tahun 1963, P. horiana dilaporkan menginfeksi pertanaman krisan di beberapa Negara seperti Inggris, Selandia Baru dan Afrika Selatan, serta Australia.
P. horiana dilaporkan masuk ke Indonesia sekitar tahun 1990, diduga melalui bibit krisan impor yang tidak terdeteksi karena gejala penyakit belum muncul (Djatnika et al. 1994a). Fenomena demikian dapat terjadi pada pathogen yang berinteraksi dengan tanaman yang menjadi inangnya. Selain melalui bibit, patogen dapat menular melalui angin, air, perlakuan pemeliharaan, pakaian pekerja, dan peralatan pertanian. Dengan cara demikian, penyakit karat putih menyebar dengan cepat ke lokasi pertanaman baru yang sebelumnya belum pernah ditanami krisan. Lebih kurang 28% bibit krisan yang diproduksi oleh petani telah terinfeksi oleh penyakit karat (Suhardi 2009a). Saat ini penyakit tersebut telah menyebar luas di seluruh sentra produksi krisan di Indonesia. Penggunaan benih sehat merupakan langkah strategis untuk mengurangi sumber inokulum penyakit karat putih.
3)      Faktor-faktor lingkungan yang mendukung perkembangan penyakit
Seperti yang dikemukakan oleh Hanudin et al. (2004) bahwa  lingkungan yang lembab, banyak hujan dan kecepatan angin yang tinggi dapat meningkatkan intensitas serangan penyakit karat pada tanaman krisan. Tempat yang Memiliki kelembaban udara yang tinggi dan merupakan daerah pertanaman krisan selama bertahun-tahun menjadi penyebab sumber inokulum di daerah tersebut selalu tersedia. 

4)      Cara bertahan pathogen
Jamur Puccinia horiana termasuk kedalam kelompok obligat yang hanya hidup dan berkembangbiak pada jaringan atau tanaman yang masih hidup. Biasanya ketika tidak ada tanaman inang utama maka jamur tersebut akan tumbuh dan hidup di inang alternative seperti gulma.
G.    Pengendalian                     :
1) Penggunaan varietas toleran seperti Puma White, Tiger, Yellow West, dan Rhino, varietas introduksi yang sangat resisten, atau varietas lokal seperti kultivar Puspita Nusantara, Puspa Kania, Dwina Kencana, Dwina Pelangi, Pasopati, Paras Ratu, Wastu Kania, Ratna Wisesa, dan Tiara Salila.
2) Perompesan daun terinfeksi yang mampu menurunkan intensitas penyakit karat sampai 44% pada tahap awal, tetapi pada tahap selanjutnya menekan serangan penyakit sekitar 3–21%.
3) Penyiraman pada pagi hari (pukul 7.00), yang dapat menurunkan intensitas penyakit karat yang lebih baik dibandingkan dengan penyiraman pada siang atau sore hari.
4) Penggunaan biopestisida berbahan aktif bakteri antagonis Bacillus subtilis BaAKCs-3, Pseudomonas fluorescens Pf-3 Sm, dan Corynebacterium-2, yang masing-masing efektif mengendalikan P. horiana 38,49% dan mempertahankan hasil panen 14,58%.
5) Penggunaan fungisida sintetis propineb atau mankozeb yang dapat menurunkan intensitas penyakit karat 20–49%. Pencelupan setek pucuk krisan dalam fungisida miklobutanil konsentrasi 100 mg/l sebelum tanam efektif mengeradikasi penyakit karat putih.

DAFTAR PUSTAKA
Agrios, G.N. 1988. Plant diseases epidemiology.p. 156–179. In Plant Pathology. Third Ed. Academic Press, Inc., New York and London.
Djatnika, I., D. Kristina, dan L. Sanjaya 1994a.Ketahanan beberapa kultivar krisan terhadap penyakit karat. Buletin Penelitian Tanaman Hias 2(2): 19−25 .
Gore, M.E. 2007. White rust outbreak on chrysanthemum caused by Puccinia horiana in Turkey. New Diseases Report. http://www.bspp.org.uk/ndr/jan2008/2007-81.asp.[17 May 2010].
Hanudin, W. Nuryani, and K. Budiarto. 2008a.Effectiveness of Bacillus subtilis and Pseudomonas fluorescens in liquid for-mulation to control important diseases on chrysanthemum and chinese cabbage. Jurnal Ilmu Pertanian “Agrivita” 30(3): 255–262.
MacDonald, L. 2001. Chrysanthemum White Rust. Pest Management. Gov. British Columbia.http://www.agf.gov.bc.ca/cropprot/cwrust.htm. [17 May 2010].
Suhardi. 2009a. Sumber inokulum, respons varietas, dan efektivitas fungisida terhadap penyakit karat putih pada tanaman krisan.J. Hort. 19(2): 207–209.
Szakuta, G. and J. Butrymowicz. 2004. Diagnostic protocols regulated pests. European and Mediterranean Plant Protection Organization (EPPO), Agricultural Research Center (ARC), Dept. of Crop Protection, Merelbeke,Belgium. EPPO Bull. 34: 155−157.








2.      TANAMAN GLADIOL

A.    Nama Penyakit                  : Layu Fusarium 
B.     Inang                                 : Gladiol (Gladiolus hybridus)
C.     Arti penting penyakit        :
Salah satu permasalahan yang dihadapi dalam budidaya gladiol adalah ketersediaan bibit sehat yang sampai sekarang masih sukar dipenuhi. Salah satu penyakit penting pada tanaman gladiol adalah penyakit layu Fusarium yang menyebabkan banyak tanaman mati muda. Berdasarkan pengalaman membeli bibit gladiol dari petani jawa barat, diperoleh lebih dari 50% bibit terserang Fusarim oxysporumf.sp.gladioli. kerugian yang dapat dihitung jika dihubungkan dengan permintaan bibit gladiol di Jakarta sebesar 0.5-0,7 milyar/musim (Nuryani et.al, 2001).
D.    Pathogen                           : jamur Fusarium oxysporum
Cendawan F. oxysporum tergolong kedalam kingdom : Mycetae, divisi : Mycota, subdivisi : Deuteromycotina, klas : Hypomycetes, ordo : Hyphales (Moniliales), family : Tuberculariaceae, genus : Fusarium, spesies : F. oxysporum (Agrios, 1996).
Miselium cendawan ini bersekat terutama terdapat di dalam sel, khususnya di dalam pembuluh kayu. Disamping itu cendawan membentuk miselium yang terdapat diantara sel-sel, yaitu dalam kulit dan di jaringan parenkim di dekat tempat terjadinya infeksi (Semangun, 1994). Pada medium Potato Dextrose Agar (PDA) mula-mula miselium berwarna putih, semakin tua warna menjadi krem atau kuning pucat, dalam keadaan tertentu berwarna merah muda agak ungu. Miselium bersekat dan membentuk percabangan. Beberapa isolat Fusarium akan membentuk pigmen biru atau merah di dalam medium.
Di alam cendawan ini membentuk konidium pada suatu badan buah yang disebut sporodokium, yang dibentuk pada permukaan tangkai atau daun sakit pada tingkat yang telah lanjut. Konidiofor bercabang-cabang rata-rata mempunyai panjang 70μm. Cabang-cabang samping biasanya bersel satu, panjangnya sampai 14 μm. Konidium terbentuk pada ujung cabang utama atau cabang samping. Mikrokonidium sangat banyak dihasilkan oleh cendawan pada semua kondisi, bersel satu atau bersel dua, hialin, jorong atau agak memanjang, berukuran 5-7 x 2.5-3 μm, tidak bersekat atau kadang-kadang bersekat satu dan berbentuk bulat telur atau lurus. Makrokonidium berbentuk sabit, bertangkai kecil, kebanyakan bersel empat, hialin, berukuran 22-36 x 4-5 μm. Klamidospora bersel satu, jorong atau bulat, berukuran 7-13 x 7-8 μm, terbentuk di tengah hifa atau pada makrokoniudium, seringkali berpasangan (Sastrahidayat, 1992).
Gambar a. Cendawan F.oxysporum pada       Gambar b. Konidia cendawan F. oxysporum
media PDA
E.     Gejala penyakit:
Gejala yang menyolok dari penyakit layu fusarium pada awalnya adalah terjadinya penguningan tepi daun yang lebih tua (Saragih, dkk., 2006). Bagian yang terserang umumnya plumula dan radikal yang mengakibatkan pembusukan pada bagian tersebut. Jamur dalam pertumbuhan dan perkembangannya memerlukan selulosa sebagai sumber karbon dan energi (Winarsih dan Syafrudin, 2001). Selanjutnya tanaman menjadi kerdil dan mudah patah. Pada gladiol subang terdapat bercak hitam, kemudian berkembang menjadi lesion coklat kemerahan dan akhirnya membusuk.
F.      Epidemi penyakit              :
1)      Siklus penyakit
Daur hidup Fusarium oxysporum mengalami fase patogenesis dan saprogenesis. Pada fase patogenesis, cendawan hidup sebagai parasit pada tanaman inang. Apabila tidak ada tanaman inang, patogen hidup di dalam tanah sebagai saprofit pada sisa tanaman dan masuk fase saprogenesis, yang dapat menjadi sumber inokulum untuk menimbulkan penyakit pada tanaman lain. Penyebaran propagul dapat terjadi melalui angin, air tanah, serta tanah terinfeksi dan terbawa oleh alat pertanian dan manusia
2)      Penyebaran penyakit
Cendawan Fusarium sp. merupakan patogen tular tanah atau “soil-borne pathogen” yang termasuk parasit lemah. Cendawan ini menular melalui tanah atau rimpang yang berasal dari tanaman sakit, dan menginfeksi melalui luka. Luka tersebut dapat terjadi karena pengangkutan benih, penyiangan, pembumbunan, atau karena serangga dan nematoda.
 Apabila kondisi lingkungan tidak menguntungkan, cendawan bertahan hidup dalam bagian tanaman, baik di lapangan maupun selama masa penyimpanan. Pada saat kondisi lingkungan menguntungkan, cendawan akan tumbuh dan berkembang pada bagian tanaman dan menular ke bagian tanaman lain. Walaupun tanah sudah tertular, gejala penyakit belum nampak pada tanaman karena memerlukan waktu beberapa bulan dan bila digunakan sebagai bibit sebagian besar tanaman akan terinfeksi cendawan patogen tersebut.
3)      Faktor-faktor lingkungan yang mendukung perkembangan penyakit
Cendawan Fusarium oxysporum sangat sesuai pada tanah dengan kisaran pH 4,5-6,0; tumbuh baik pada biakan murni dengan kisaran pH 3,6-8,4; sedangkan untuk pensporaan, pH optimum sekitar 5,0. Pensporaan yang terjadi pada tanah dengan pH di bawah 7,0 adalah 5-20 kali lebih besar dibandingkan dengan tanah yang mempunyai pH di atas 7. Pada pH di bawah 7, pensporaan terjadi secara melimpah pada semua jenis tanah, tetapi tidak akan terjadi pada pH di bawah 3,6 atau di atas 8,8. Suhu optimum untuk pertumbuhan cendawan Fusarium oxysporum adalah 200C dan 300C, maksimum pada 370C atau di bawahnya, minimum sekitar 50C, sedangkan optimum untuk pensporaan adalah 20-250C.
4)      Cara bertahan pathogen
Penyakit layu Fusarium yang disebabkan oleh cendawan Fusarium oxysporum, termasuk dalam kelompok penyakit tular tanah, yang dapat bertahan dalam waktu yang lama. Patogen ini, umumnya menginfeksi pada bagian akar atau pangkal batang tanaman. Gejala layu fusarium tampak pada bagian atas tanaman. Penyakit tular tanah umumnya, sulit dikendalikan karena memiliki kisaran inang yang luas dan dapat bertahan hidup dalam tanah dengan waktu yang lama, serta gejala awal sulit diidentifikasi, akibatnya penyakit sering dapat diketahui ketika serangan sudah lanjut.
G.    Pengendalian                     :
1.      Cara kultur teknis dengan pemberian pupuk organik (kompos, pupuk kandang), penjarangan anakan, dipotong (setelah 30 cm) kurang lebih 5 cm dari titik tumbuh, rotasi dengan tanaman bukan inang (misalnya : pepaya, nenas, jagung dan lain-lain), pembuatan drainase, sanitasi lingkungan pertanaman, menghindari terjadinya luka pada akar, menggunakan benih sehat (bukan dari daerah serangan atau rumpun terserang, benih dari kultur jaringan) atau benih baru setiap musim tanam, sistem pindah tanam setelah tiga kali panen, maksimal tiga tahun, pengapuran atau pemberian abu dapur untuk menaikkan atau menjaga kestabilan pH tanah, dan penggunaan media ampas tebu yang ditambah urea dapat mengurangi perkembangan organism pathogen (Anonim, 1993).
2.      Cara fisik/mekanis dengan penanaman di lahan yang terinfeksi F. oxysporum, bibit tanaman terlebih dahulu dicelupkan ke dalam air hangat sekitar 45o C selama 15 menit atau dicelupkan ke dalam suspensi musuh alaminya, misalnya Pseudomonas fluorescens. Cara genetika penanaman varietas yang tahan penyakit layu fusarium, sesuai dengan kondisi setempat (Semangun, 1994).
3.      Pengendalian dengan cara biologi yaitu dengan aplikasi agens hayati misalnya Trichoderma spp., Gliocladium sp., Pseudomonas fluorescent, Bacillus subtilis sebelum/pada saat tanam (satu kilogram/lubang tanam) yang diintroduksi bersama dengan kompos dengan perbandingan 1 : 10, atau pada bibit (100 g/bibit). Sedangkan cara kimia semua alat yang digunakan didisinfektan dengan kloroks satu persen (bayclean yang diencerkan 1 : 5), atau dicuci bersih dengan sabun, dan injeksi larutan minyak tanah atau herbisida sistemik terhadap tanaman sakit dan anaknnya, sebanyak 5 – 15 ml/pohon tergantung ukuran/umur tanaman. Injeksi ini dapat diulangi hingga tanaman mati (Djatnika et al., 2003).






DAFTAR PUSTAKA
Agrios, G.N.1996. Plant Pathology. Penerjemah : Munzir Busnia dalam Ilmu Penyakit Tumbuhan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 713 Hal.
Anonim, 1993. Wabah Penyakit Menyerang Pisang di Lampung. Majalah Trubus 286. Th XXIV. September, Jakarta. Hal 16-17.
Djatnika et al.2003.Pengendalian Hama Dan Penyakit Gladiol.Balai Tanaman Hias.Jakarta:Hlmn 35-42.
Semangun.1994.Penyakit-Penyakit Tanaman Hortikultura Di Indonesia. Universitas Gadjah Mada Press.Yogyakarta.Hlmn 722-725.
Saragih, dkk. 2006. Potensi agensia hayati dalam pengendalian penyakit tanaman berwawasan lingkungan dan peranannya dalam meningkatkan sektor agribisnis. hlm. 13–34.Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Purwokerto.
Winarsih dan Syafrudin, 2001. Kemangkusan B. subtilis dan P. fluorescens dalam formulasi cair untuk pengendalian Fusarium oxysporum f. sp dianthi pada anyelir. Jurnal Hortikultura (Edisi Khusus no. 1): 61−71.
(Nuryani et.al, 2001). Pengendalian Layu fusarium sedap malam dengan Bio-GL dan Bio-Tri. hlm. 335–339. Dalam Soedarmono (Ed.). Prosiding Kongres Nasional XV dan Seminar Ilmiah PFI,Purwokerto.
Semangun,& Sastrahidaya.1994. Peranan bahan organik pada pertumbuhan dan daya antagonisme Trichoderma harzianum dan pengaruhnya terhadap Fusarium oxysporum Jurnal Fitopatologi Indonesia 7(2): 76−82.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar