Sabtu, 10 Mei 2014

Makalah Dasar perlindungan Tanaman (Penyakit Pada Tanaman Hias)

MAKALAH DASAR PERLINDUNGAN TANAMAN (DPT)
PENYAKIT-PENYAKIT PENTING
PADA KOMODITAS TANAMAN HIAS KRISAN & GLADIOL


Disusun Oleh:
NAMA KELOMPOK
TANTRIATI
:
12011025
HELMI ADI
:
12011005
FERI ANDHIKA
:
12011035
MUKHLIS ARDIYANSYAH
:
12011017

PROGRAM KEAHLIAN AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS AGROTEKNOLOGI
UNIVERSITAS MERCU BUANA YOGYAKARTA
2013
1.      TANAMAN KRISAN

A.    Nama Penyakit                              : Karat putih
B.     Inang                                             : Krisan (Dendrathema grandiflora)
C.     Arti penting penyakit                    :
Menurut Kristina et al. (1994), serangan penyakit karat putih (Pucciniahoriana P. Henn.) dapat menurunkankesegaran bunga krisan (vase-life) menjadi hanya 5 hari, padahal untuk bunga yang sehat tanpa cacat, kesegarannya dapat bertahan hingga 12 hari pada suhu ruangan (27–29°C). Kehilangan hasil krisan akibat penyakit karat putih belum pernah dihitung secara tepat. Kehilangan hasil diperkirakan mencapai 30% karena penurunan nilai jual dan penundaan waktu panen (Suhardi, 2009a). Di luar negeri, misalnya di Turki, kehilangan hasil dapat mencapai 80% (Gore, 2007). Sementara di New England, serangan P. horiana menyebabkan kehilangan hasil 100%.
D.    Pathogen                                       : Jamur Puccinia horiana
 
Gambar 1. Hialin teliospora dari Puccinia horiana (A) dan tangkai teliospora (B)
(Szakuta dan Butrymowicz 2004).
Penyakit karat putih pada krisan disebabkan oleh cendawan P. horiana (Basidiomycetes). Cendawan ini bersifat parasit obligat atau hanya hidup sebagai parasite pada tanaman hidup. Pathogen penyakit karat putih menghasilkan dua jenis spora, yaitu teliospora yang merupakan spora rihat dan basidiospora yang dihasilkan oleh teliospora yang telah berkecambah.

E.     Gejala penyakit & gambar:
Gambar 2. Gejala awal dan gejala lanjut penyakit karat putih pada tanaman krisan
(Hanudin et al. 2010).
Pada umumnya gejala penyakit akan timbul apabila terjadi interaksi antara tiga faktor, yaitu patogen yang virulen, inang yang rentan, dan lingkungan yang kondusif untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Hal ini dikenal dengan sebutan segitiga penyakit (Agrios,1988). Perkembangan gejala serangan P. horiana pada daun krisan dimulai dengan munculnya bercak berwarna kuning pada permukaan atas daun, yang kemudian diikuti dengan perubahan warna pusat bercak dari putih menjadi coklat tua. Pada permukaan bawah daun terbentuk pustul yang pada awalnya berwarna merah muda, selanjutnya pustul membesar, berwarna putih, dan akhirnya tanaman mati (Gambar 2). Pustul karat sebenarnya merupakan kumpulan teliospora yang akan berkecambah membentuk basidiospora yang kemudian menginfeksi tanaman (Suhardi,2009a).
F.      Epidemi penyakit              :
1)      Siklus penyakit
Pathogen penyakit karat putih menghasilkan dua jenis spora, yaitu teliospora yang merupakan spora rihat dan basidiospora yang dihasilkan oleh teliospora yang telah berkecambah. Teliospora berkecambah bila kelembapan udara sangat tinggi (96−100%). Teliospora dapat bertahan selama delapan minggu pada kondisi kelembapan kurang dari 50%. Basidiospora sangat rapuh, mudah disebarkan oleh angin atau percikan air. Apabila kelembapan udara mencapai 80% maka basidiospora akan mati dalam waktu lima menit. Pada kondisi kelembapan 81−90%, basidiospora dapat bertahan tanpa tanaman inang selama 60 menit.
Perkecambahan teliospora membutuhkan suhu 4−23°C (optimum 17°C) dan kelembapan > 90%, sedangkan perkecambahan basidiospora berlangsung pada kisaran suhu 17−24°C (optimum 17°C) dan kelembapan > 90% (MacDonald 2001). Proses infeksi membutuhkan waktu 2 jam dan dalam waktu 24 jam sekitar 50% populasi basidiospora sudah menginfeksi tanaman.
Gejala penyakit karat muncul 7−10 hari setelah infeksi pada suhu > 24°C dan 8 hari pada suhu 30°C (MacDonald 2001). Teliospora berukuran 14,5 μm x 41,5 μm, hialin kuning terang, dan terdiri atas dua sel ramping pada sekatnya (Gambar 1). Teliospora dapat ditemukan pada berbagai stadia pertumbuhan tanaman (Szakuta dan Butrymowicz 2004).
Proses infeksi dimulai saat basidiospora berkecambah di atas permukaan daun yang berair. Infeksi biasanya terjadi pada malam sampai pagi hari (suhu 17°C), dan berlangsung selama 2 jam.
2)      Penyebaran penyakit
Penyakit karat putih pada krisan pertama kali dilaporkan di Asia Timur dan diidentifikasi pada tahun 1895 oleh P. Henning. Sejak tahun 1963, P. horiana dilaporkan menginfeksi pertanaman krisan di beberapa Negara seperti Inggris, Selandia Baru dan Afrika Selatan, serta Australia.
P. horiana dilaporkan masuk ke Indonesia sekitar tahun 1990, diduga melalui bibit krisan impor yang tidak terdeteksi karena gejala penyakit belum muncul (Djatnika et al. 1994a). Fenomena demikian dapat terjadi pada pathogen yang berinteraksi dengan tanaman yang menjadi inangnya. Selain melalui bibit, patogen dapat menular melalui angin, air, perlakuan pemeliharaan, pakaian pekerja, dan peralatan pertanian. Dengan cara demikian, penyakit karat putih menyebar dengan cepat ke lokasi pertanaman baru yang sebelumnya belum pernah ditanami krisan. Lebih kurang 28% bibit krisan yang diproduksi oleh petani telah terinfeksi oleh penyakit karat (Suhardi 2009a). Saat ini penyakit tersebut telah menyebar luas di seluruh sentra produksi krisan di Indonesia. Penggunaan benih sehat merupakan langkah strategis untuk mengurangi sumber inokulum penyakit karat putih.
3)      Faktor-faktor lingkungan yang mendukung perkembangan penyakit
Seperti yang dikemukakan oleh Hanudin et al. (2004) bahwa  lingkungan yang lembab, banyak hujan dan kecepatan angin yang tinggi dapat meningkatkan intensitas serangan penyakit karat pada tanaman krisan. Tempat yang Memiliki kelembaban udara yang tinggi dan merupakan daerah pertanaman krisan selama bertahun-tahun menjadi penyebab sumber inokulum di daerah tersebut selalu tersedia. 

4)      Cara bertahan pathogen
Jamur Puccinia horiana termasuk kedalam kelompok obligat yang hanya hidup dan berkembangbiak pada jaringan atau tanaman yang masih hidup. Biasanya ketika tidak ada tanaman inang utama maka jamur tersebut akan tumbuh dan hidup di inang alternative seperti gulma.
G.    Pengendalian                     :
1) Penggunaan varietas toleran seperti Puma White, Tiger, Yellow West, dan Rhino, varietas introduksi yang sangat resisten, atau varietas lokal seperti kultivar Puspita Nusantara, Puspa Kania, Dwina Kencana, Dwina Pelangi, Pasopati, Paras Ratu, Wastu Kania, Ratna Wisesa, dan Tiara Salila.
2) Perompesan daun terinfeksi yang mampu menurunkan intensitas penyakit karat sampai 44% pada tahap awal, tetapi pada tahap selanjutnya menekan serangan penyakit sekitar 3–21%.
3) Penyiraman pada pagi hari (pukul 7.00), yang dapat menurunkan intensitas penyakit karat yang lebih baik dibandingkan dengan penyiraman pada siang atau sore hari.
4) Penggunaan biopestisida berbahan aktif bakteri antagonis Bacillus subtilis BaAKCs-3, Pseudomonas fluorescens Pf-3 Sm, dan Corynebacterium-2, yang masing-masing efektif mengendalikan P. horiana 38,49% dan mempertahankan hasil panen 14,58%.
5) Penggunaan fungisida sintetis propineb atau mankozeb yang dapat menurunkan intensitas penyakit karat 20–49%. Pencelupan setek pucuk krisan dalam fungisida miklobutanil konsentrasi 100 mg/l sebelum tanam efektif mengeradikasi penyakit karat putih.

DAFTAR PUSTAKA
Agrios, G.N. 1988. Plant diseases epidemiology.p. 156–179. In Plant Pathology. Third Ed. Academic Press, Inc., New York and London.
Djatnika, I., D. Kristina, dan L. Sanjaya 1994a.Ketahanan beberapa kultivar krisan terhadap penyakit karat. Buletin Penelitian Tanaman Hias 2(2): 19−25 .
Gore, M.E. 2007. White rust outbreak on chrysanthemum caused by Puccinia horiana in Turkey. New Diseases Report. http://www.bspp.org.uk/ndr/jan2008/2007-81.asp.[17 May 2010].
Hanudin, W. Nuryani, and K. Budiarto. 2008a.Effectiveness of Bacillus subtilis and Pseudomonas fluorescens in liquid for-mulation to control important diseases on chrysanthemum and chinese cabbage. Jurnal Ilmu Pertanian “Agrivita” 30(3): 255–262.
MacDonald, L. 2001. Chrysanthemum White Rust. Pest Management. Gov. British Columbia.http://www.agf.gov.bc.ca/cropprot/cwrust.htm. [17 May 2010].
Suhardi. 2009a. Sumber inokulum, respons varietas, dan efektivitas fungisida terhadap penyakit karat putih pada tanaman krisan.J. Hort. 19(2): 207–209.
Szakuta, G. and J. Butrymowicz. 2004. Diagnostic protocols regulated pests. European and Mediterranean Plant Protection Organization (EPPO), Agricultural Research Center (ARC), Dept. of Crop Protection, Merelbeke,Belgium. EPPO Bull. 34: 155−157.








2.      TANAMAN GLADIOL

A.    Nama Penyakit                  : Layu Fusarium 
B.     Inang                                 : Gladiol (Gladiolus hybridus)
C.     Arti penting penyakit        :
Salah satu permasalahan yang dihadapi dalam budidaya gladiol adalah ketersediaan bibit sehat yang sampai sekarang masih sukar dipenuhi. Salah satu penyakit penting pada tanaman gladiol adalah penyakit layu Fusarium yang menyebabkan banyak tanaman mati muda. Berdasarkan pengalaman membeli bibit gladiol dari petani jawa barat, diperoleh lebih dari 50% bibit terserang Fusarim oxysporumf.sp.gladioli. kerugian yang dapat dihitung jika dihubungkan dengan permintaan bibit gladiol di Jakarta sebesar 0.5-0,7 milyar/musim (Nuryani et.al, 2001).
D.    Pathogen                           : jamur Fusarium oxysporum
Cendawan F. oxysporum tergolong kedalam kingdom : Mycetae, divisi : Mycota, subdivisi : Deuteromycotina, klas : Hypomycetes, ordo : Hyphales (Moniliales), family : Tuberculariaceae, genus : Fusarium, spesies : F. oxysporum (Agrios, 1996).
Miselium cendawan ini bersekat terutama terdapat di dalam sel, khususnya di dalam pembuluh kayu. Disamping itu cendawan membentuk miselium yang terdapat diantara sel-sel, yaitu dalam kulit dan di jaringan parenkim di dekat tempat terjadinya infeksi (Semangun, 1994). Pada medium Potato Dextrose Agar (PDA) mula-mula miselium berwarna putih, semakin tua warna menjadi krem atau kuning pucat, dalam keadaan tertentu berwarna merah muda agak ungu. Miselium bersekat dan membentuk percabangan. Beberapa isolat Fusarium akan membentuk pigmen biru atau merah di dalam medium.
Di alam cendawan ini membentuk konidium pada suatu badan buah yang disebut sporodokium, yang dibentuk pada permukaan tangkai atau daun sakit pada tingkat yang telah lanjut. Konidiofor bercabang-cabang rata-rata mempunyai panjang 70μm. Cabang-cabang samping biasanya bersel satu, panjangnya sampai 14 μm. Konidium terbentuk pada ujung cabang utama atau cabang samping. Mikrokonidium sangat banyak dihasilkan oleh cendawan pada semua kondisi, bersel satu atau bersel dua, hialin, jorong atau agak memanjang, berukuran 5-7 x 2.5-3 μm, tidak bersekat atau kadang-kadang bersekat satu dan berbentuk bulat telur atau lurus. Makrokonidium berbentuk sabit, bertangkai kecil, kebanyakan bersel empat, hialin, berukuran 22-36 x 4-5 μm. Klamidospora bersel satu, jorong atau bulat, berukuran 7-13 x 7-8 μm, terbentuk di tengah hifa atau pada makrokoniudium, seringkali berpasangan (Sastrahidayat, 1992).
Gambar a. Cendawan F.oxysporum pada       Gambar b. Konidia cendawan F. oxysporum
media PDA
E.     Gejala penyakit:
Gejala yang menyolok dari penyakit layu fusarium pada awalnya adalah terjadinya penguningan tepi daun yang lebih tua (Saragih, dkk., 2006). Bagian yang terserang umumnya plumula dan radikal yang mengakibatkan pembusukan pada bagian tersebut. Jamur dalam pertumbuhan dan perkembangannya memerlukan selulosa sebagai sumber karbon dan energi (Winarsih dan Syafrudin, 2001). Selanjutnya tanaman menjadi kerdil dan mudah patah. Pada gladiol subang terdapat bercak hitam, kemudian berkembang menjadi lesion coklat kemerahan dan akhirnya membusuk.
F.      Epidemi penyakit              :
1)      Siklus penyakit
Daur hidup Fusarium oxysporum mengalami fase patogenesis dan saprogenesis. Pada fase patogenesis, cendawan hidup sebagai parasit pada tanaman inang. Apabila tidak ada tanaman inang, patogen hidup di dalam tanah sebagai saprofit pada sisa tanaman dan masuk fase saprogenesis, yang dapat menjadi sumber inokulum untuk menimbulkan penyakit pada tanaman lain. Penyebaran propagul dapat terjadi melalui angin, air tanah, serta tanah terinfeksi dan terbawa oleh alat pertanian dan manusia
2)      Penyebaran penyakit
Cendawan Fusarium sp. merupakan patogen tular tanah atau “soil-borne pathogen” yang termasuk parasit lemah. Cendawan ini menular melalui tanah atau rimpang yang berasal dari tanaman sakit, dan menginfeksi melalui luka. Luka tersebut dapat terjadi karena pengangkutan benih, penyiangan, pembumbunan, atau karena serangga dan nematoda.
 Apabila kondisi lingkungan tidak menguntungkan, cendawan bertahan hidup dalam bagian tanaman, baik di lapangan maupun selama masa penyimpanan. Pada saat kondisi lingkungan menguntungkan, cendawan akan tumbuh dan berkembang pada bagian tanaman dan menular ke bagian tanaman lain. Walaupun tanah sudah tertular, gejala penyakit belum nampak pada tanaman karena memerlukan waktu beberapa bulan dan bila digunakan sebagai bibit sebagian besar tanaman akan terinfeksi cendawan patogen tersebut.
3)      Faktor-faktor lingkungan yang mendukung perkembangan penyakit
Cendawan Fusarium oxysporum sangat sesuai pada tanah dengan kisaran pH 4,5-6,0; tumbuh baik pada biakan murni dengan kisaran pH 3,6-8,4; sedangkan untuk pensporaan, pH optimum sekitar 5,0. Pensporaan yang terjadi pada tanah dengan pH di bawah 7,0 adalah 5-20 kali lebih besar dibandingkan dengan tanah yang mempunyai pH di atas 7. Pada pH di bawah 7, pensporaan terjadi secara melimpah pada semua jenis tanah, tetapi tidak akan terjadi pada pH di bawah 3,6 atau di atas 8,8. Suhu optimum untuk pertumbuhan cendawan Fusarium oxysporum adalah 200C dan 300C, maksimum pada 370C atau di bawahnya, minimum sekitar 50C, sedangkan optimum untuk pensporaan adalah 20-250C.
4)      Cara bertahan pathogen
Penyakit layu Fusarium yang disebabkan oleh cendawan Fusarium oxysporum, termasuk dalam kelompok penyakit tular tanah, yang dapat bertahan dalam waktu yang lama. Patogen ini, umumnya menginfeksi pada bagian akar atau pangkal batang tanaman. Gejala layu fusarium tampak pada bagian atas tanaman. Penyakit tular tanah umumnya, sulit dikendalikan karena memiliki kisaran inang yang luas dan dapat bertahan hidup dalam tanah dengan waktu yang lama, serta gejala awal sulit diidentifikasi, akibatnya penyakit sering dapat diketahui ketika serangan sudah lanjut.
G.    Pengendalian                     :
1.      Cara kultur teknis dengan pemberian pupuk organik (kompos, pupuk kandang), penjarangan anakan, dipotong (setelah 30 cm) kurang lebih 5 cm dari titik tumbuh, rotasi dengan tanaman bukan inang (misalnya : pepaya, nenas, jagung dan lain-lain), pembuatan drainase, sanitasi lingkungan pertanaman, menghindari terjadinya luka pada akar, menggunakan benih sehat (bukan dari daerah serangan atau rumpun terserang, benih dari kultur jaringan) atau benih baru setiap musim tanam, sistem pindah tanam setelah tiga kali panen, maksimal tiga tahun, pengapuran atau pemberian abu dapur untuk menaikkan atau menjaga kestabilan pH tanah, dan penggunaan media ampas tebu yang ditambah urea dapat mengurangi perkembangan organism pathogen (Anonim, 1993).
2.      Cara fisik/mekanis dengan penanaman di lahan yang terinfeksi F. oxysporum, bibit tanaman terlebih dahulu dicelupkan ke dalam air hangat sekitar 45o C selama 15 menit atau dicelupkan ke dalam suspensi musuh alaminya, misalnya Pseudomonas fluorescens. Cara genetika penanaman varietas yang tahan penyakit layu fusarium, sesuai dengan kondisi setempat (Semangun, 1994).
3.      Pengendalian dengan cara biologi yaitu dengan aplikasi agens hayati misalnya Trichoderma spp., Gliocladium sp., Pseudomonas fluorescent, Bacillus subtilis sebelum/pada saat tanam (satu kilogram/lubang tanam) yang diintroduksi bersama dengan kompos dengan perbandingan 1 : 10, atau pada bibit (100 g/bibit). Sedangkan cara kimia semua alat yang digunakan didisinfektan dengan kloroks satu persen (bayclean yang diencerkan 1 : 5), atau dicuci bersih dengan sabun, dan injeksi larutan minyak tanah atau herbisida sistemik terhadap tanaman sakit dan anaknnya, sebanyak 5 – 15 ml/pohon tergantung ukuran/umur tanaman. Injeksi ini dapat diulangi hingga tanaman mati (Djatnika et al., 2003).






DAFTAR PUSTAKA
Agrios, G.N.1996. Plant Pathology. Penerjemah : Munzir Busnia dalam Ilmu Penyakit Tumbuhan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 713 Hal.
Anonim, 1993. Wabah Penyakit Menyerang Pisang di Lampung. Majalah Trubus 286. Th XXIV. September, Jakarta. Hal 16-17.
Djatnika et al.2003.Pengendalian Hama Dan Penyakit Gladiol.Balai Tanaman Hias.Jakarta:Hlmn 35-42.
Semangun.1994.Penyakit-Penyakit Tanaman Hortikultura Di Indonesia. Universitas Gadjah Mada Press.Yogyakarta.Hlmn 722-725.
Saragih, dkk. 2006. Potensi agensia hayati dalam pengendalian penyakit tanaman berwawasan lingkungan dan peranannya dalam meningkatkan sektor agribisnis. hlm. 13–34.Prosiding Seminar Nasional PFI Komda Purwokerto.
Winarsih dan Syafrudin, 2001. Kemangkusan B. subtilis dan P. fluorescens dalam formulasi cair untuk pengendalian Fusarium oxysporum f. sp dianthi pada anyelir. Jurnal Hortikultura (Edisi Khusus no. 1): 61−71.
(Nuryani et.al, 2001). Pengendalian Layu fusarium sedap malam dengan Bio-GL dan Bio-Tri. hlm. 335–339. Dalam Soedarmono (Ed.). Prosiding Kongres Nasional XV dan Seminar Ilmiah PFI,Purwokerto.
Semangun,& Sastrahidaya.1994. Peranan bahan organik pada pertumbuhan dan daya antagonisme Trichoderma harzianum dan pengaruhnya terhadap Fusarium oxysporum Jurnal Fitopatologi Indonesia 7(2): 76−82.


Kunjungan Waduk Sermo


KUNJUNGAN KE WADUK SERMO



Disusun Oleh:
NAMA
:
TANTRIATI
NIM
:
12011025


PROGRAM KEAHLIAN AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS AGROTEKNOLOGI
UNIVERSITAS MERCU BUANA YOGYAKARTA
YOGYAKARTA
2014
KUNJUNGAN KE WADUK SERMO
A.  Sejarah Dan Latar Belakang
Proyek pembangunan Waduk Sermo merupakan salah satu komponen program IISP (Integreted Irrigation Sector Project) yang pembiayaannya berasal dari APBN murni dan bantuan ADB. Studi kelayakan Waduk Sermo dilakukan oleh Mac Donald tahun 1980, dilanjutkan oleh PT Indra Karya tahun 1985 dan 1991. Penelitian untuk mengetahui waduk sermo layak dibangun dari segi teknis dan ekonomis dilakukan oleh ELC – Electroconsult pada tahun 1992. Waduk Sermo ini dibuat dengan membendung Kali Ngrancah yang dapat menampung air 25 juta meter kubik. Pembangunannya diselesaikan dalam waktu dua tahun delapan bulan (1 Maret 1994 hingga Oktober 1996). Waduk Sermo ini diresmikan pada tanggal 20 November 1996 oleh Presiden Soeharto dan akhirnya resmi beroperasi pada tahun 1997. Pembangunan waduk sermo ini membuat Pemda Kulonprogo harus memindahkan 107 KK dengan bertransmigrasi ke Tak Toi Bengkulu, dan ke PIR kelapa sawit Riau.
Tujuan pembangunan waduk ini adalah untuk suplesi sistem irigasi daerah Kalibawang yang memiliki cakupan areal seluas 7.152 Ha. Sistem irigasi tersebut merupakan interkoneksi dari beberapa daerah irigasi, diantaranya Clereng, Pengasih, dan Pekik Jamal.
Pembangunan Waduk Sermo diharapkan dapat meningkatkan produktivitas pertanian melalui perluasan areal, effisiensi air irigasi dan peningkatan intensitas tanam, sehingga diharapkan dapat memperbaiki pendapatan petani dan meningkatkan kesempatan kerja dan meningkatkan kesempatan kerja di daerah tersebut.


B.  Lokasi Waduk Sermo
Description: http://free.7host07.com/balaipoo/peta/kawasan_waduk.jpg
Letak Waduk Sermo boleh dibilang cukup strategis, karena berada diantara dua bukit dan disekelilingnya masih banyak pepohonan dan adanya cagar alam atau hutan wisata yang membuatnya nampak hijau dan sejuk. Di sana terdapat jalan yang melingkari sekeliling waduk sehingga memudahkan pengunjung menikmati Waduk Sermo dari sudut pandang manapun dengan leluasa. Di sepanjang jalan melingkar itu terdapat tempat – tempat persinggahan berupa rumah jamur (berbentuk seperti jamur) dan juga rumah panggung. Terdapat pula warung makan, bengkel dan juga toilet umum. Disamping itu juga menyediakan wisma atau vila apabila kita ingin menikmati keindahan waduk pada malam hari. Bila ingin mengelilingi Waduk Sermo lewat air, disana juga disediakan penyewaan perahu atau sering pula masyarakat menyebutnya “gethek”. Perahu motor juga ada. Bila ingin memancing, kita tidak perlu membayar. Cukup membeli atau membawa sendiri peralatan untuk memancing. Meski pengunjung bebas memancing di Waduk Sermo, namun ada kawasan-kawasan tertentu yang dilarang sebabberbahaya.


C.  Fungsi & Manfaat Waduk Sermo
• Paritirta dan pariboga (irigasi)
• PDAM
• Parimina (Perikanan)
• Pariwisata
• Olah Raga
Dampak Adanya Waduk Sermo Pada Bidang Ekonomi Adanya waduk sermo di desa hargowilis, dapat membantu meningkatkan perekonomian warga sekitar waduk, dan juga dapat mengurangi jumlah pengangguran di desa hargowilis khususnya.
Dampak Adanya Waduk Sermo Terhadap Sosial Budaya Yang paling menonjol akibat terjadinya perubahan-perubahan fisik maupun ekonomi dan sosial budaya, ternyata berpengaruh terhadap perubahan adat kebiasaan yang ada di daerah penelitian. Hal ini terlihat oleh adanya upacara tradisional Rebo Wekasan (upacara syukuran panen yang melimpah) yang saat ini sudah mundur sebagai akibat Desa Hargowilis terpisahkan oleh Waduk Sermo. Selain itu, para penduduk juga sudah mulai berpikir secara rasional sehubungan adanya keterbatasan sumberdaya yang ada.
Selain itu juga masyarakat di sekitar waduk sermo, banyak yang memanfaatkan pinggiran waduk sermo tersebut untuk ditanami rumput kolonjono sebagai makanan ternak mereka, karena sebagian besar mereka yang bertempat tinggal di sekitar waduk sermo, banyak yang memelihara sapi dan kambing, tetapi ada juga masyarakat yang menanami sayuran, seperti kangkung, lembayung dan lain-lain
Bentuk-bentuk Kerja Sama Antara Pihak Waduk Sermo dan Masyarakat
Bentuk-bentuk kerjasama antara pihak waduk sermo dengan masyarakat yaitu diantaranya dengan adanya, pemberian bibit tanaman oleh pihak waduk sermo pada masyarakat untuk ditanam di sekitar waduk, pengadaan pelatian pembuatan pupuk organik oleh pihak waduk sermo, mengadakan penyuluhan-penyuluhan dan pengarahan pada masyarakat, baik itu dari kelompok tani, kelompok penjaring, kelompok warung dan lain-lain, agar dapat mengembangkan usahanya dan dapat memajukan waduk sermo.
D.Bangunan
Description: http://kotajogja.com/images/upload/waduksermo_00511122012153035.jpg
Waduk Sermo ini terdiri dari bendungan utama yang merupakan tipe urugan batu berzona dengan inti kedap air. Puncak bendungan memiliki elevasi +141,60meterdengan panjang 190.00 meter, lebar 8,00 meter, tinggi max 58,60 Meter dan volume urugan 568,000 meter. Coffer Dam dengan tipe urugan batu dan selimut kedap air yang memiliki elevasi mercu+105,00 meter. Bangunan pelimpah dengan tipe "ogee" tanpa pintu yang memiliki lebar pelimpah 26 meter, elevasi mercu 136,60 meter, peredam energi bak lontar dan lantai peredam energi. Bangunan terowongan dengan bentuk tapal kuda dengan diameter 4,2 meter yang memiliki kapasitas 179,50 meter kubik per detik, elevasi inlet 89,00 meter dan elevasi outlet 84,00 meter. Selama ini Waduk Sermo dimanfaatkan sebagai sumber air bersih oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) dan untuk air irigasi yang mengairi sawah di daerah Wates dan sekitarnya. Terkadang lokasi Waduk digunakan untuk lomba dayung seperti yang terjadi belakangan ini dan untuk pelatihan bagi Akademi Angkatan Udara (AAU), juga sering dijadikan obyek diskusi akademika tentang evaluasi geologi teknik dan kerentanan gerakan tanah di sekitar waduk tersebut (terutama pada sandaran dinding bendungan sebelah barat/kanan).
E.Sedimentasi
Sedimentasi merupakan permasalahan klasik yang tidak hanya terjadi Indonesia tapi juga hampir di seluruh dunia. Ancaman sedimentasi ini juga mengancam waduk-waduk yang ada di Indonesia sekitar 284 waduk dan dapat mengurangi kapasitas tampungan waduk serta berkurangnya umur layan waduk. Upaya penanggulangan sedimentasi yaituinfrastruktur yang optimum untuk mengatasi sedimentasi yang dapat dibangun, dioperasikan, dan dipelihara secara mudah, praktis dan berbiaya rendah.
Berdasarkan kondisi tersebut, Balai Bangunan Hidraulik dan Geoteknik Keairan (BHGK) melalui kegiatan Teknologi Bangunan Pengendali Sedimen telah melakukan penelitian mengenai efektifitas dari Bangunan Pengendali Sedimen (BPS). Manfaat dari bangunan ini adalah BPS ini mampu menangkap sedimen di alur sungai.
Bangunan Penampung Sedimen (BPS) berfungsi untuk menahan, menangkap dan mengendalikan laju angkutan sedimen pada alur sungai sebelum masuk ke tampungan Waduk Jatigede. Kapasitas sedimen waduk jatigede 980 juta m3, Air baku 3.500 l/s, Listrik 110 MW, Irigasi  90.000 ha Laju angkutan sedimen 7,77 juta m3/tahun.
F.   Ketersediaan Air di Waduk Sermo
Ketersediaan air permukaan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah ketersediaan air waduk. Waduk adalah tubuh perairan yang dibuat oleh manusia, tujuan utamanya adalah untuk menyimpan air pada saat run off berlrbih, maksudnya adalah untuk berbagai kepentingan penyediaan air di waktu kemaau, penanggulangan banjir, pembangkit tenaga listrik dan wisata. Pada Sub DAS Ngrancah terdapat sebuah waduk yang dibangun pada tahun 1993an yang diberi nama Waduk Sermo. Menurut wawancara yang dilakukan kepada 100 responden di Desa Hargawilis dan Hargatirta, waduk Sermo dibangun salah satunya untuk mengatasi kelangkaan air ketika kemarau panjang yang terjadi di beberapa desa di Kulonprogo, terutama desa desa yang berada pada daerah perbukitan. Selain itu Waduk Sermo juga berfungsi untuk kebutuhan irigasi di beberapa kecamatan di Kulon Progo.
Ketersediaan air waduk dihitung dengan Imbangan air waduk. Imbangan air adalah besarnya volume air yang masuk ke waduk berbanding lurus dengan besarnya volume air yang keluar dari waduk. Masukan (Inflow) merupakan besarnya aliran air yang masuk ke waduk. Masukan (inflow) yang dimaksud pada imbangan air di atas adalah aliran sungai yang masuk ke waduk. Besarnya aliran air sungai (debit) yang masuk ke waduk sermo diketahui dengan menggunakan data sekunder yang diperoleh dari Pusat Pelayanan Waduk Sermo. Terdapat 7 anak sungai yang mengisi waduk, yang mana empat sungai diantaranya bertemu menjadi satu  dan menjadi pengisi terbesar dari waduk Sermo. Sungai utama yang mengisi waduk tersebut adalah Sungai Ngrancah. Debit air Sungai Ngrancah yang masuk ke dalam waduk setiap harinya tidak sama, tergantung pada sistem pengendalian pintu airnya. Menurut data yang direkam setiap harinya selama dua tahun (2009 dan 2010), rata rata debit Sungai Ngrancah yang masuk ke Waduk Sermo sebesar 15.314.900 m3/tahun.
Hujan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi besarnya Input yang masuk ke waduk sermo. Data  curah hujan di daerah sekitar bendungan waduk sermo diperoleh dari Pusat Pelayanan Waduk Sermo. Tebalnya hujan yang mengisi Waduk Sermo sebesar 1.517.949 m3/tahun. Selain itu waduk Sermo juga mendapat masukan air dari air tanah, cadangan air atau storage dan beberapa sungai kecil di sekitarnya yang besarnya mencapai 8.796.254 m3/tahun. Jumlah ini dapat diketahui melalui perhitungan neraca waduk, yang mana diketahui outflow waduk melalui Sungai Secang sebesar 25.629.541.150 m3/tahun. Selain itu outflow juga berasal dari evaporasi.
Evaporasi adalah proses perubahan molekul air dari air permukaan waduk menjadi molekul uap air yang terangkat ke atmosfer. Data evaporasi diperoleh dari survey data sekunder yang berasal dari Pusat Pelayanan Waduk Sermo. Data Evaporasi tersebut digunakan untuk menghitung besarnya volume air yang menguap ke atmosfer dengan mengalikannnya dengan luas waduk sermo. Total Evaporasi pada Waduk Sermo sebesar 87.953 mm3/tahun. Sehingga setelah melalui perhitungan imbangan air waduk, totol ketersediaan air yang dihitung dari jumlah input waduk yang berasal dari presipitasi, debit Inflow sungai,  debit airtanah dan juga cadangan storage sebesar 25.629.103,5 m3/tahun.
 Sebuah Perusahaan Pengolahan Air Bersih telah dibangun pula di tepi waduk. Fungsinya adalah untuk mengolah air waduk menjadi air bersih yang layak untuk digunakan untuk kebutuhan domestik warga. Air bersih tersebut di alirkan melalui pipa pipa PDAM ke beberapa kecamatan di Kulon Progo. Setiap harinya perusahaan mengambil air dari waduk Sermo sebanyak 1.836 m3. Pada tahun 2011, sudah banyak masyarakat yang menggunakan PDAM untuk memenuhi kebutuhan sehari harinya. Akan tetapi tak sedikit pula masyarakat yang tidak menggunakan jasa PDAM untuk memperoleh air. Akan tetapi ada pula masyarakat yang tinggal dekat waduk namun tidak menggunakan jasa PDAM. Mayoritas mereka adalah masyarakat yang memiliki sumur di rumahnya. Ada pula masyarakat yang tetap lebih memilih menggunakan air dari mata air yang jaraknya cukup jauh daripada menggunakan PDAM. Mereka mayoritas adalah masyarakat dengan ekonomi rendah yang tidak mampu membayar biaya tagihan PDAM.
 Distribusi penyaluran PDAM dari Waduk Sermo hingga saat ini juga belum dapat mencakup seluruh masyarakat yang kerap mengalami kelangkaan air ketika kemarau, hal tersebut terjadi pada masyarakat yang tinggal di lereng lereng atas yang sulit dijangkau. Sehingga diharapkan pemerintah dapat menurunkan harga PDAM atau memberikan subsidi air bersih bagi rakyat yang kurang mampu supaya seluruh kalangan masyarakat dapat merasakan fasilitas air bersih dengan mudah. Selain itu distribusi penyaluran pipa-pipa PDAM juga harus diperluas sehingga masyarakat tidak lagi mengalami krisis air ketika kemarau


G. Sistem Pengelolaan Waduk Sermo

Pengelolaan Waduk Sermo yang berada di Kali Ngrancah Pedukuhan Sermo Desa Hargowilis Kecamatan Kokap merupakan terbaik di Indonesia. Salah satunya karena ada ketaatan dari warganya dan ada pimpinan yang dihormati dari dalam hati.
Seperti diketahui tujuan dibangunnya waduk Sermo adalah untuk suplesi daerah irigasi Sistem Kalibawang dengan areal 7.152 hektar. Selain kebutuhan irigasi, air dari waduk juga digunakan untuk air baku air minum PDAM Kulonprogo sebesar 150 liter/detik dan penggelontoran Kota Wates sebesar 50 liter/detik. Dan kontribusi sabuk hijau bagi masyarakat adalah untuk pengawetan air di sumber air alternatif, hijauan makanan ternak, dan tanaman serbaguna.
Di Indonesia rata-rata airnya keruh, sedangkan di Waduk Sermo airnya jernih, ini menunjukkan tidak ada sedimen yang masuk, karena semua tertutup hutan. Sebelumnya juga dilakukan peninjauan pengendalian banjir lahar melalui infrastruktur pengendali sedimen dengan teknologi sabo di Merapi dan sistem irigasi lahan berpasir di pantai selatan Samas Bantul.
Wilayah sungai, kata Subandrio, merupakan miniatur suatu negara, Indonesia mempunyai lebih 30 balai lebih yang mengelola beberapa sungai. Di Sermo ini apa yang diciptakan Tuhan, dikelola airnya dan disimpan di bukit-bukit yang meresap ke bawah. Akar-akarnya bagus, zona akarnya  5 meter lebih, air dicengkeram, sinar matahari tidak tembus ke bawah, itu melindungi tanahnya di hutan, agar air tidak serta menguap. Sehingga air disimpan di dalam tanah, awet jumlahnya/kualitasnya.
Punya air seperti waduk Sermo ini bisa untuk irigasi, terjamin sepanjang tahun. Ada irigasi maka ada pangan, karena potensi pangan banyak maka tidak usah ekspor pangan, sehingga ketahanan pangan kuat. Ada air juga bisa untuk bendungan, dan pembangkit listrik. Listrik kan multiplier efeknya banyak sekali, ada pabrik dan lainnya, bermunculan industri, masuk devisa, maka pengangguran terjawab, dan masih banyak lagi. Air yang ada di hutan atau atas seperti Sermo ini bisa turun ke bawah dan mengaliri ke sungai, sehingga selalu ada air.

Laporan Dasar Agroteknologi

LAPORAN PRAKTIKUM DASAR AGROTEKNOLOGI
PENGAMATAN PERTUMBUHAN PADA TANAMAN KEDELAI
(Glycine max)



Disusun Oleh:
1.
Tantriati
(12011025)
2.
Junita Samosir
(12011026)
3.
Ardi Achmad Hidayat
(12011027)


PROGRAM KEAHLIAN AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS AGROTEKNOLOGI
UNIVERSITAS MERCU BUANA YOGYAKARTA
2013

HALAMAN PENGESAHAN

Laporan ini disusun sebagai syarat untuk melengkapi Praktikum Dasar Agroteknologi Program Studi Agroteknologi Fakultas Agroindustri Mercubuana Yogyakarta


Telah disetujui dan disyahkan oleh Dosen Pembimbing Praktikum Dasar Agroteknologi
Pada tanggal      Januari 2011

Dosen Pembimbing



(Dr.Ir. Tyastuti Nugraheni, M.P)


Yogyakarta,13 Januari 2011
Co. ast                                                                         Praktikan



(Wisnu)                                                                          (Penyusun)

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmatdan hidayah-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan laporan praktikum Dasar-Dasar Agroteknologi.
Laporan ini disusun guna untuk memenuhi persyaratan agar dapat mengikuti responsi Dasar-dasar Agroteknoogi dan lulus pada Mata kuliah Dasar-dasar Agroteknologi fakultas Agroindustri universitas Mercu Buana Yogyakarta.
Penulis menyadari  bahwa dalam penyusunan laporan ini tidak lepas dari bantuan yang berasal dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1.      Ibu Ir. Tyastuti Nugraheni  M. P. selaku dosen pengajar mata kuliah dasar-dasar Agroteknologi.
2.      Mas Wisnu sebagai Co.ast yang telah membantu kelancaaran jalannya praktikum dasar agroteknologi
3.      Pengelola Laboratorium dasar agronomi Universitas Mercu Buana Yogyakarta.
4.      Semua pihak yang telah banyak membantu penyusunan laporan ini.
Dalam penyusunan laporan ini penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna, maka dari itu penulis senantiasa menerima saran dan kritik yang bersifat membangun sehingga memperbaiki dan menyempurnakan laporan ini.

Yogyakarta,   Januari 2011
Praktikan


                                                                                                                         Penyusun

DAFTAR ISI

Halaman judul           ................................................................................................            i
Halaman Pengesahan           ....................................................................................            ii
Kata Pengantar         ................................................................................................            iii
Daftar Isi        ............................................................................................................            iv
BAB I. Pendahuluan            ................................................................................................            1
A.    Latar Belakang         ....................................................................................            1
B.     Tujuan           ................................................................................................            1
BAB II.Tinjauan Pustaka    ....................................................................................            2
A.    Klasifikasi Kedelai    ....................................................................................            2
B.     Morfologi Kedelai     ....................................................................................            3
C.    Tentang Kedelai        ....................................................................................            6
D.    Jarak Tanam ................................................................................................            13
BAB III.Metode        ................................................................................................            15
A.    Waktu dan Tempat  ....................................................................................            15
B.     Alat dan Bahan        ....................................................................................            15
C.    Prsedur Kerja          ....................................................................................            16
BAB IV.Hasil dan Pembahasan      ........................................................................            17
A.    Hasil    ............................................................................................................            17
B.     Pembahasan  ................................................................................................            22
Kesimpulan    ............................................................................................................            26
Daftar Pustaka          ................................................................................................            27
Lampiran                ...................................................................................................            28
                                                                                                                       
 BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki sumberdaya alam berupa lahan yang relatif cukup luas dan subur. Dengan iklim, suhu dan kelembaban yang cocok untuk kebutuhan pertumbuhan tanaman pangan pokok, maka hampir seluruh tanaman pangan pokok tersebut (biji-bijian, umbi-umbian dan kacang-kacangan asli Indonesia) dapat tumbuh dengan relatif baik. Salah satu jenis tanaman pangan yang sangat dibutuhkan oleh sebagian besar penduduk Indonesia adalah tanaman kedelai (Glysine max (L) Merril). Kedelai merupakan salah satu mata dagangan yang pasokannya di Indonesia semakin cenderung tidak dapat dipenuhi dari hasil produksi dalam negeri sendiri.
Budidaya tanaman kedelai di masa depan perlu menyusun perencanaan untuk mengurangi ketergantungan pada bahan-bahan kimia, dengan menerapkan teknologi yang akrab lingkungan, yaitu penerapan teknologi bio-plus. Dengan penerapan teknologi yang lebih maju dan mengurangi bahan-bahan kimia ini, dalam rangka mendapatkan hasil yang maksimal jika dibudidayakan dalam kondisi lingkungan yang intensif dan sesuai dengan pertumbuhannya.
Salah satu faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman kedelai adalah jarak tanam. Maka pada praktikum ini dilakukan berbagai macam perlakuan jarak tanam pada budidaya tanaman kedelai Varietas Anjasmara.

B.  Tujuan Praktikum
1.    Mengamati dan mempelajari penentuan indeks luas daun pada tanaman kedelai.
2.    Mengamati dan mempelajari penentuan intensitas cahaya pada tanaman kedelai.
3.    Mengamati dan menentukan bobot basah dan bobot kering pada tanaman kedelai.
4.    Mengetahui pengaruh jarak tanam terhadap pertumbuhan kedelai varietas Anjasmara.
5.    Mengetahui jarak tanam terbaik bagi pertumbuhan kedelai varietas Anjasmara.




BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.  Klasifikasi  Kedelai
Tanaman kedelai adalah tanaman asli daratan Cina, tanaman ini sudah ada sekitar 2500 SM. Seiring dengan berkembangnya perdagangan di dunia, maka kedelai pun menyebar ke berbagai wilayah seperti Australia, Jepang, Korea, India, Amerika dan Indonesia. Pada awal abad ke-16 kedelai mulai dikenal di Indonesia yang mula-mula dikenal dipulau Jawa, lalu menyebar ke Bali, Nusa Tenggara dan pulau-pulau lainnya.
Menurut Sharma (1993), tanaman kedelai diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom    : Plantae
Divisio        : Spermatophyta
Subdivisio  : Angiospermae
Class           : Dicotyledoneae
Ordo           : Fabales
Family        : Fabaceae
Genus         : Glycine
Species       : Glycine max (L.)
Kedelai mempunyai susunan genom diploid (2n) dengan 20 pasang kromosom, beberapa jenis liar kedelai juga mempunyai 20 pasang kromosom. Kedelai yang ditanam sekarang diperkirakan berasal dari jenis liar Glycine soja = Glycine ussuriensis. Glycine soja mempunyai bentuk polong dan biji yang hampir sama dengan kedelai biasa, tetapi tumbuhnya merambat dan kulit bijinya sangat tebal, sehingga embrio dan keping bijinya terlindungi dengan baik (Departemen Pertanian, 1990).
B.  Morfologi Tanaman Kedelai
Tanaman kedelai umumnya tumbuh tegak, berbentuk semak, dan
merupakan tanaman semusim. Morfologi tanaman kedelai didukung oleh
komponen utamanya, yaitu akar, daun, batang, polong, dan biji sehingga
pertumbuhannya bisa optimal.
1. Akar
Kedelai berakar tunggang, pada tanah subur dan gembur akar dapat tumbuh sampai kedalaman 150 cm. Pada akar kedelai terdapat bintil akar yang merupakan koloni-koloni dari bakteri Rhizobium japonicum. Pada tanah-tanah yang telah mengandung bakteri Rhizobium, bintil akar mulai terbentuk pada umur 15 – 20 hari setelah tanam. Pada tanah yang belum pernah ditanam kedelai bakteri Rhizobium tidak terdapat dalam tanah sehingga bintil akar tidak terbentuk (Departemen Pertanian, 1990).
2. Batang dan cabang
Pertumbuhan batang kedelai dibedakan menjadi dua tipe, yaitu tipe determinate dan indeterminate. Perbedaan sistem pertumbuhan batang ini didasarkan atas keberadaan bunga pada pucuk batang. Pertumbuhan batang tipe determinate ditunjukkan dengan batang yang tidak tumbuh lagi pada saat tanaman mulai berbunga. Sementara pertumbuhan batang tipe indeterminate dicirikan bila pucuk batang tanaman masih bisa tumbuh daun, walaupun tanaman sudah mulai berbunga. Jumlah buku pada batang tanaman dipengaruhi oleh tipe tumbuh batang dan periode panjang penyinaran pada siang hari. Pada kondisi normal, jumlah buku berkisar 15-30 buah (http://pustaka.unpad.ac.id, 2009).
3. Daun
Daun primer sederhana berbentuk telur (oval) berupa daun tunggal (unifoliate) dan bertangkai sepanjang 1-2 cm, terletak bersebrangan pada buku pertama di atas kotiledon. Daun-daun berikutnya yang terbetuk pada batang utama dan pada cabang ialah daun bertiga (trifoliate), namun adakalanya terbentuk daun berempat atau daun berlima. Bentuk anak daun beragam, dari bentuk telur hingga lancip (Hidayat, 1985).
4. Bunga
Bunga kedelai menyerupai kupu-kupu. Tangkai bunga umumnya tumbuh dari ketiak tangkai daun yang diberi nama rasim. Jumlah bunga pada setiap ketiak tangkai daun sangat beragam, antara 2-25 bunga, tergantung kondisi lingkungan tumbuh dan varietas kedelai. Bunga pertama yang terbentuk umumnya pada buku kelima, keenam, atau pada buku yang lebih tinggi. Setiap ketiak tangkai daun yang mempunyai kuncup bunga dan dapat berkembang menjadi polong disebut sebagai buku subur. Periode berbunga pada tanaman kedelai cukup lama yaitu 3-5 minggu untuk daerah subtropik dan 2-3 minggu di daerah tropik, seperti di Indonesia. Jumlah bunga pada tipe batang determinate umumnya lebih sedikit dibandingkan pada batang tipe indeterminate. Warna bunga yang umum pada berbagai varietas kedelai hanya dua, yaitu putih dan ungu (http://pustaka.unpad.ac.id, 2009).
5. Polong dan biji
Buah kedelai berbentuk polong, jumlah biji sekitar 1-4 tiap polong. Polong berbulu berwarna kuning kecoklat-coklatan atau abu-abu. Dalam proses pematangan warna polong berubah menjadi lebih tua, warna hijau menjadi kehitaman, keputihan atau kecoklatan (Departemen Pertanian,1990).
Biji kedelai terbagi menjadi dua bagian utama, yaitu kulit biji dan janin (embrio). Pada kulit biji terdapat bagian yang disebut pusar (hilum) yang berwarna coklat, hitam, atau putih. Pada ujung hilum terdapat mikrofil, berupa lubang kecil yang terbentuk pada saat proses pembentukan biji Warna kulit biji bervariasi, mulai dari kuning, hijau, coklat, hitam, atau kombinasi campuran dari warna-warna tersebut. Biji kedelai tidak mengalami masa dormansi sehingga setelah proses pembijian selesai, biji kedelai dapat langsung ditanam. Namun demikian, biji tersebut harus mempunyai kadar air berkisar 12-13% (http://pustaka.unpad.ac.id, 2009).
6. Bintil akar dan Fiksasi Nitrogen
Tanaman kedelai dapat mengikat nitrogen (N2) di atmosfer melalui
aktivitas bekteri pengikat nitrogen, yaitu Rhizobium japonicum. Bakteri ini
terbentuk di dalam akar tanaman yang diberi nama nodul atau bintil akar.
Keberadaan Rhizobium japonicum di dalam tanah memang sudah ada
karena tanah tersebut ditanami kedelai atau memang sengaja
ditambahkan ke dalam tanah. Nodul atau bintil akar tanaman kedelai
umumnya dapat mengikat nitrogen dari udara pada umur 10 – 12 hari
setelah tanam, tergantung kondisi lingkungan tanah dan suhu.
Kelembaban tanah yang cukup dan suhu tanah sekitar 25°C sangat
mendukung pertumbuhan bintil akar tersebut. Perbedaan warna hijau
daun pada awal pertumbuhan (10 – 15 hst) merupakan indikasi efektivitas
Rhizobium japonicum. Namun demikian, proses pembentukan bintil akar
sebenarnya sudah terjadi mulai umur 4 – 5 hst, yaitu sejak terbentuknya
akar tanaman. Pada saat itu, terjadi infeksi pada akar rambut yang
merupakan titik awal dari proses pembentukan bintil akar. Oleh karena itu,
semakin banyak volume akar yang terbentuk, semakin besar pula
kemungkinan jumlah bintil akar atau nodul yang terjadi.
Kemampuan memfikasi N2 ini akan bertambah seiring dengan
bertambahnya umur tanaman, tetapi maksimal hanya sampai akhir masa
berbunga atau mulai pembentukan biji. Setelah masa pembentukan biji,
kemampuan bintil akar memfikasi N2 akan menurun bersamaan dengan
semakin banyaknya bintil akar yang tua dan luruh. Di samping itu, juga
diduga karena kompetisi fotosintesis antara proses pembentukan biji
dengan aktivitas bintil akar.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi efektivitas inokulasi. Oleh
karena inokulan berisi organisme hidup maka harus terlindung dari
pengaruh sinar matahari langsung, suhu tinggi, dan kondisi kering karena
dapat menurunkan populasi bakteri dalam media inokulan sebelum
diaplikasikan. Bila perlu, inokulan dapat disimpan dalam lemari es pada
suhu 4°C sebelum digunakan. Inokulan yang baik akan berisi sebanyak
105 – 107 sel/gr bahan pembawa. Pada waktu aplikasi bakteri Rhizobium
japonicum ini, tidak diberikan bersamaan dengan fungisida karena
fungisida banyak mengandung logam berat yang dapat mematikan
bakteri. Sementara penggunaan herbisida tidak banyak pengaruhnya
terhadap jumlah dan aktivitas bakteri ini.
Ada beberapa metode aplikasi bakteri, yaitu pelapisan biji (slurry
method), metode sprinkle, metode tepung (powder method), dan metode
inokulasi tanah. Inokulasi biji dengan bakteri Rhizobium japonicum
umumnya paling sering dilakukan di Indonesia, yaitu dengan takaran 5 – 8
g/kg benih kedelai. Mula-mula biji kedelai dibasahi dengan air
secukupnya, kemudian diberi bubukan bakteri Rhizobium japonicum
sehingga bakteri tersebut dapat menempel di biji. Bakteri tersebut
kemudian dapat melakukan infeksi pada akar sehingga terbentuk nodul
atau bintil akar. Bahan pembawa bakteri pada inokulasi biji ini umumnya
berupa humus (peat).
Tanaman kedelai dikenal sebagai sumber protein nabati yang murah
karena kadar protein dalam biji kedelai lebih dari 40%. Semakin besar
kadar protein dalam biji, akan semakin banyak pula kebutuhan nitrogen
sebagai bahan utama protein. Dilaporkan bahwa untuk memperoleh hasil
biji 2,50 ton/ha, diperlukan nitrogen sekitar 200 kg/ha. Dari jumlah
tersebut, sekitar 120 – 130 kg nitrogen dipenuhi dari kegiatan fiksasi
nitrogen.
Pemupukan nitrogen sebagai starter pada awal pertumbuhan kedelai
perlu dilakukan untuk pertumbuhan dalam 1 minggu pertama. Pada
keadaan tersebut, akar tanaman belum berfungsi sehingga tambahan
nitrogen diharapkan dapat merangsang pembentukan akar. Hal ini akan
membuka kesempatan pembetukan bintil akar. Selain itu, sistem
perkecambahan kedelai berupa epigeal sehingga persediaan makanan di
dalam kotiledon lebih banyak digunakan untuk pertumbuhan awal
vegetatif dan seringkali nitrogen yang dibutuhkan tidak tercukupi. Namun
demikian, bila penggunaan pupuk nitrogen terlalu banyak, akan menekan
jumlah dan ukuran bintil akar sehingga akan mengurangi efektivitas
pengikatan N2 dari atmosfer.
C.  Tentang Kedelai
1.    Stadia Pertumbuhan Kedelai:
Pengetahuan tentang stadia pertumbuhan tanaman kedelai sangat
penting, terutama bagi para pengguna aspek produksi kedelai. Hal ini
terkait dengan jenis keputusan yang akan diambil untuk memperoleh
pertumbuhan yang optimal dengan tingkat produksi yang maksimal dari
tanaman kedelai, misalnya waktu pemupukan, penyiangan, pengendalian
hama dan penyakit, serta penentuan waktu panen.
Ø Stadia pertumbuhan vegetatif
Stadia pertumbuhan vegetatif dihitung sejak tanaman mulai muncul ke
permukaan tanah sampai saat mulai berbunga. Stadia perkecambahan
dicirikan dengan adanya kotiledon, sedangkan penandaan stadia
pertumbuhan vegetatif dihitung dari jumlah buku yang terbentuk pada
batang utama. Stadia vegetatif umumnya dimulai pada buku ketiga
Ø Stadia pertumbuhan reproduktif
Stadia pertumbuhan reproduktif (generatif) dihitung sejak tanaman
kedelai mulai berbunga sampai pembentukan polong, perkembangan biji,
dan pemasakan biji.
2.    Tipe Perkecambahan
Kecambah kedelai tergolong epigeous artinya keping biji muncul diatas tanah. Warna hipokotil yaitu bagian batang kecambah dibawah keping berwarna ungu atau hijau dan berhubungan dengan warna bunga, sedangkan yang berhipokotil hijau berbunga putih dan yang berhipokotil ungu berbunga ungu (Departemen Pertanian, 1990).
3.    Lingkungan Tumbuh
Tanah dan iklim merupakan dua komponen lingkungan tumbuh
yang berpengaruh pada pertumbuhan tanaman kedelai. Pertumbuhan
kedelai tidak bisa optimal bila tumbuh pada lingkungan dengan salah satu
komponen lingkungan tumbuh optimal. Hal ini dikarenakan kedua
komponen ini harus saling mendukung satu sama lain sehingga
pertumbuhan kedelai bisa optimal.
Ø Tanah
Tanaman kedelai umumnya mampu beradaptasi dengan baik pada berbagai jenis tanah. Tanaman kedelai umumnya menyukai tanah yang bertekstur ringan hingga sedang, serta memiliki saluran draenase yang memadai atau baik untuk pertanaman dan juga tanaman kedelai peka terhadap kondisi tanah salin (Rubattzky dan Yamaguchi, 1998).
Tanaman kedelai dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah dengan drainase dan aerasi tanah yang cukup baik serta air yang cukup selama pertumbuhan tanaman. Tanaman kedelai dapat tumbuh baik pada tanah alluvial, regosol, grumosol, latosol atau andosol. Pada tanah yang kurang subur (miskin unsur hara) dan jenis tanah podsolik merah-kuning, perlu diberi pupuk organik dan pengapuran (http://www.deptan.go.id/teknologi/tp/tkedele4.htm, 2008).
Kedelai termasuk tanaman yang mampu beradaptasi terhadap berbagai agroklimat, menghendaki tanah yang cukup gembur, tekstur lempung berpasir dan liat. Tanaman kedelai dapat tumbuh dengan baik pada tanah yang mengandung bahan organik dan pH antara 5,5-7 (optimal 6,7). Tanah hendaknya mengandung cukup air tapi tidak sampai tergenang (Departemen Pertanian, 1996).
Ø Iklim
Hal yang terpenting pada aspek distribusi curah hujan yaitu jumlahnya merata sehingga kebutuhan air pada tanaman kedelai dapat terpenuhi. Jumlah air yang digunakan oleh tanaman kedelai tergantung pada kondisi iklim pada umumnya kebutuhan air pada tanaman kedelai berkisar 350 – 450 mm selama masa pertumbuhan kedelai. Pada saat perkecambahan, faktor air menjadi sangat penting karena akan berpengaruh pada proses pertumbuhan Selama masa stadia pengisian polong serta pemasakan biji, tanaman kedelai memerlukan kondisi lingkungan yang kering agar diperoleh kualitas biji yang baik (http://pustaka.unpad.ac.id, 2009).
Kedelai paling baik ditanam di ladang dan persawahan antara musim kemarau dan musim hujan. Sedang rata-rata curah hujan tiap tahun yang cocok bagi kedelai adalah kurang dari 200 mm dengan jumlah bulan kering 3-6 bulan dan hari hujan berkisar antara 95-122 hari selama setahun (http://www.iptek.net.id/ind/pd_tanobat/view., 2008).
Kedelai merupakan tanaman hari pendek, yakni tidak akan berbunga bila lama penyinaran (panjang hari) melampaui batas kritis. Setiap varietas mempunyaia panjang hari kritik. Apabila lama penyinaran kurang dari batas kritik, maka kedelai akan berbunga. Dengan lama penyinaran 12 jam, hampir semua varietas kedelai dapat berbunga dan tergantung dari varietasnya, umumnya berbunga beragam dari 20 hingga 60 hari setelah tanam. Apabila lama penyinaran melebihi periode kritik, tanaman tersebut akan meneruskan pertumbuhan vegetatifnya tanpa berbunga
(Baharsjah, dkk, 1985).
a. Suhu
Tanaman kedelai dapat tumbuh pada kondisi suhu yang
beragam. Suhu tanah yang optimal dalam proses
perkecambahan yaitu 30°C. Bila tumbuh pada suhu tanah yang
rendah (<15°C), proses perkecambahan menjadi sangat lambat,
bisa mencapai 2 minggu. Hal ini dikarenakan perkecambahan
biji tertekan pada kondisi kelembaban tanah tinggi. Sementara
pada suhu tinggi (>30°C), banyak biji yang mati akibat respirasi
air dari dalam biji yang terlalu cepat.
Disamping suhu tanah, suhu lingkungan juga berpengaruh
terhadap perkembangan tanaman kedelai. Bila suhu lingkungan
sekitar 40°C pada masa tanaman berbunga, bunga tersebut
akan rontok sehingga jumlah polong dan biji kedelai yang
terbentuk juga menjadi berkurang. Suhu yang terlalu rendah
(10°C), seperti pada daerah subtropik, dapat menghambat
proses pembungaan dan pembentukan polong kedelai. Suhu
lingkungan optimal untuk pembungaan bunga yaitu 24 -25°C.
b. Panjang hari (photoperiode)
Tanaman kedelai sangat peka terhadap perubahan panjang hari
atau lama penyinaran sinar matahari karena kedelai termasuk
tanaman “hari pendek”. Artinya, tanaman kedelai tidak akan
berbunga bila panjang hari melebihi batas kritis, yaitu 15 jam
perhari. Oleh karena itu, bila varietas yang berproduksi tinggi
dari daerah subtropik dengan panjang hari 14 – 16 jam ditanam
di daerah tropik dengan rata-rata panjang hari 12 jam maka
varietas tersebut akan mengalami penurunan produksi karena
masa bunganya menjadi pendek, yaitu dari umur 50 – 60 hari
menjadi 35 – 40 hari setelah tanam. Selain itu, batang tanaman
pun menjadi lebih pendek dengan ukuran buku subur juga lebih
pendek.
Perbedaan di atas tidak hanya terjadi pada pertanaman kedelai
yang ditanam di daerah tropik dan subtropik, tetapi juga terjadi
pada tanaman kedelai yang ditanam di dataran rendah (<20 m
dpl) dan dataran tinggi (>1000 m dpl). Umur berbunga pada
tanaman kedelai yang ditanam di daerah dataran tinggi mundur
sekitar 2-3 hari dibandingkan tanaman kedelai yang ditanam di
datarn rendah.
Kedelai yang ditanam di bawah naungan tanaman tahunan,
seperti kelapa, jati, dan mangga, akan mendapatkan sinar
matahari yang lebih sedikit. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa naungan yang tidak melebihi 30% tidak banyak
berpengaruh negatif terhadap penerimaan sinar matahari oleh
tanaman kedelai.
c. Distribusi curah hujan
Hal yang terpenting pada aspek distribusi curah hujan yaitu
jumlahnya merata sehingga kebutuhan air pada tanaman
kedelai dapat terpenuhi. Jumlah air yang digunakan oleh
tanaman kedelai tergantung pada kondisi iklim, sistem
pengelolaan tanaman, dan lama periode tumbuh. Namun
demikian, pada umumnya kebutuhan air pada tanaman kedelai
berkisar 350 – 450 mm selama masa pertumbuhan kedelai.
Pada saat perkecambahan, faktor air menjadi sangat penting
karena akan berpengaruh pada proses pertumbuhan.
Kebutuhan air semakin bertambah seiring dengan
bertambahnya umur tanaman. Kebutuhan air paling tinggi terjadi
pada saat masa berbunga dan pengisian polong. Kondisi
kekeringan menjadi sangat kritis pada saat tanaman kedelai
berada pada stadia perkecambahan dan pembentukan polong.
Untuk mencegah terjadinya kekeringan pada tanaman kedelai,
khususnya pada stadia berbunga dan pembentukan polong,
dilakukan dengan waktu tanam yang tepat, yaitu saat
kelembaban tanah sudah memadai untuk perkecambahan.
Selain itu, juga harus didasarkan pada pola distribusi curah
hujan yang terjadi di daerah tersebut. Tanaman kedelai
sebenarnya cukup toleran terhadap cekaman kekeringan karena
dapat bertahan dan berproduksi bila kondisi cekaman
kekeringan maksimal 50% dari kapasitas lapang atau kondisi
tanah yang optimal.
Selama masa stadia pemasakan biji, tanaman kedelai
memerlukan kondisi lingkungan yang kering agar diperoleh
kualitas biji yang baik. Kondisi lingkungan yang kering akan
mendorong proses pemasakan biji lebih cepat dan bentuk biji
yang seragam.
4.    Varietas
Varietas adalah kelompok tanaman dalam jenis atau spesies tertentu yang dapat dibedakan dari kelompok lain berdasarkan suatu sifat atau sifat-sifat tertentu (Nurhayati, 2005).
Menggunakan varietas unggul merupakan syarat utama dalam me ningkatkan produksi kedelai. Tersedianya varietas unggul yang variasi sangat guna bagi petani untuk mengganti varietas antar musim dan juga mencegah petani menanam satu varietas secara terus menerus dan juga dapat mengoptimalisasikan serangan hama (Gani, 2000).
Setiap varietas adalah spesifik dapat menghasilkan produksi yang optimal jika ditanam pada area geografis yang sesuai. Melihat sifat-sifat berbagai varietas unggul, serta adanya pengaruh geografis suatu daerah terhadap perkembangan kedelai, maka disuatu daerah yang memiliki ketinggian tertentu hanya bisa ditanam dan dikembangkan varietas tertentu pula (Andrianto dan Indarto, 2004).
Jika perbedaan antara dua individu yang mempunya faktor lingkungan sama dapat diukur, maka perbedaan ini berasal dari faktor genotipe kedua tanaman tersebut. Keragaman genetik menjadi perhatian utama para pemulia tanaman, karena dengan melalui pengelolaan yang tepat dapat dihasilkan varietas baru yang lebih baik (Welsh, 2005).
Varietas-varietas kedelai yang dianjurkan mempunyai kriteria-kriteria tertentu, misalnya umur panen, produksi per hektar, daya tahan terhadap hama dan penyakit. Varietas-varietas ini diharapkan sesuai dengan keadaan tempat yang akan ditanami. Dengan ditemukannya varietas-varietas baru (unggul) melalui seleksi galur atau persilangan (crossing), di harapkan varietas dapat di pertanggungjawabkan baik dalam hal produksi, umur produksi, maupun daya tahan terhadap hama dan penyakit (Andrianto dan Indarto, 2004).
5.    Keragaman Genetik
Keragaman penampilan tanaman akibat perbedaan susunan genetik selalu mungkin terjadi sekalipun bahan tanaman yang digunakan berasal dari bahan tanaman yang sama. Jika ada dua jenis tanaman yang sama di tanaman pada lingkungan yang berbeda dan timbul variasi yang sama dari kedua tanaman tersebut maka hal ini dapat di katakan oleh bawaan genetik dari tanaman bersangkutan (Sitompul dan Guritno, 1995).
Gen-gen tidak dapat menyebabkan berkembangnya suatu karakter terkecuali mereka berada pada lingkungan yang sesuai. Keragaman yang diamati terhadap sifat-sifat yang terutama disebabkan oleh perbedaan gen yang di bawa oleh individu yang berlainan dan terhadap variabilitas didalam sifat yang lain, pertama-tama disebabkan oleh perbedaan lingkungan dimana individu berada (Allard, 2005).
Pemahaman variabilitas untuk karakter merupakan hal yang sangat penting di lakukan untuk efisiensi prosedur pemuliaan. Variasi genetik merupakan hal yang menentukan apakah suatu karakter dapat diperbaiki atau tidak. Oleh sebab itu studi varian dan heritabilitas tidak dapat terpisahkan dari suatu pengujian galur-galur harapan (Rahmadi dkk, 1990).
Pendugaan nilai varian genetik dan nilai duga heritabilitas suatu sifat akan bervariasi tergantung kepada faktor lingkungan. Adanya varian genetik yang berarti terdapatnya perbedaan nilai genotipe individu-individu suatu populasi, merupakan syarat agar seleksi terhadap populasi tersebut berhasil seperti yang diharapkan (Murdaningsih dkk, 1990).
6.    Heritabilitas
Heritabilitas merupakan rasio antara keragaman aditif dan keragaman fenotipe. Fungsi penting dari heritabilitas adalah bersifat prediktif pada generasi berikutnya. Nilainya dapat memperlihatkan nilai fenotipe yang pada akhirnya dapat digunakan sebagai breeding value (http://www.digilib.ui.ac.id, 2010)
Heritabilitas menyatakan perbandingan atau bagian varian genetik terhadap varian total di nyatakan dengan persen (%). Sesuai dengan komponennya heritabilitas dapat di bedakan dalam tiga kategori heritabilitas dalam arti luas, heritabilitas dalam arti sedang, dan heritabilitas dalam arti sempit. Heritabilitas dalam arti luas merupakan perbandingan antara varian genetik total dan varian fenotipe (Mangoendidjojo, 2003).
Heritabilitas dapat digunakan sebagai parameter dalam seleksi pada lingkungan tertentu, karena heritabilitas merupakan gambaran apakah suatu karakter lebih di pengaruhi faktor genetik atau faktor lingkungan. Nilai heritabilitas tinggi menunjukkan bahwa faktor genetik relatif lebih berperan di bandingkan faktor lingkungan. Sifat yang mempunyai heritabilitas tinggi maka sifat tersebut akan mudah di wariskan pada keturunan berikutnya (Alnopri, 2004).
kriteria heritabilitas adalah sebagai berikut yaitu heritabilitas tinggi > 0,5; heritabilitas sedang = 0,2 – 0,5 dan heritabilitas rendah< 0,2. Jika heritabilitas kurang dari satu, maka nilai tengah dari keturunan dalam hubungannya dengan nilai tengah induk-induknya, terjadi regresi ke arah nilai tengah generasi sebelumnya. Jika heritabilitas itu adalah 0,5 maka nilai tengah keturunan beregresi 50% ke arah nilai tengah generasi sebelumnya, jika heritabilitas itu adalah 0,25 maka nilai tengah keturunan beregresi 75% ke arah nilai tengah generasi sebelumnya. Jadi jika heritabilitas = 100%, maka sama dengan persentase regresi (Stansfield, 1991).
Variasi keseluruhan dalam suatu populasi merupakan hasil kombinasi genotipe dan pengaruh lingkungan. Proporsi variasi merupakan sumber yang penting dalam program pemuliaan karena dari jumlah variasi genetik ini diharapkan terjadi kombinasi genetik yang baru. Proporsi dari seluruh variasi yang disebabkan oleh perubahan genetik disebut heritabilitas. Heritabilitas dalam arti yang luas adalah semua aksi gen termasuk sifat dominan, aditif, dan epistasis. Nilai heritabilitas secara teoritis berkisar dari 0 sampai 1. Nilai 0 ialah bila seluruh variasi yang terjadi disebabkan oleh faktor lingkungan, sedangkan nilai 1 bila seluruh variasi disebabkan oleh faktor genetik. Dengan demikian nilai heritabilitas akan terletak antara kedua nilai ekstrim tersebut (Welsh, 1991).



D.  Tentang Jarak Tanam 
Jarak tanam pada penanaman dengan membuat tugalan berkisar antara 20-40 cm. Jarak tanam yang biasa dipakai adalah 30 x 20 cm, 25 x 25 cm, atau 20 x 20 cm.
Jarak tanam hendaknya teratur, agar tanaman memperoleh ruang tumbuh yang seragam dan mudah disiangi. Jarak tanam kedelai tergantung pada tingkat kesuburan tanah dan sifat tanaman yang bersangkutan. Pada tanah yang subur, jarak tanam lebih renggang, dan sebaliknya pada tanah tandus jarak tanam dapat dirapatkan.
Jika areal luas dan pengolahan tanah dilakukan dengan pembajakan, penanaman benih dilakukan menurut alur bajak sedalam kira-kira 5 cm. Sedangkan jarak jarak antara alur yang satu dengan yang lain dapat dibuat 50-60 cm, dan untuk alur ganda jarak tanam dibuat 20 cm. Sistem penanaman yang biasa dilakukan adalah:
a) Sistem tanaman tunggal
Dalam sistem ini, seluruh lahan ditanami kedelai dengan tujuan memperoleh produksi kedelai baik mutu maupun jumlahnya. Kedelai yang ditanam dengan sistem ini, membutuhkan lahan kering namun cukup mengandung air, seperti tanah sawah bekas ditanami padi rendeng dan tanah tegalan pada permulaan musim penghujan. Kelebihan lainnya ialah memudahkan pemberantasan hama dan penyakit. Kelemahan sistem ini adalah: penyebaran hama dan penyakit kedelai relatif cepat, sehingga penanaman kedelai dengan sistem ini memerlukan perhatian khusus. Jarak tanam kedelai sebagai tanaman tunggal adalah: 20 x 20 cm; 20 x 35 cm atau 20 x 40 cm.
b) Sistem tanaman campuran
Dengan sistem ini harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Umur tanaman tidak jauh berbeda.
2. Tanaman yang satu tidak mempunyai sifat mengalahkan tanaman yang liar.
3. Jenis hama dan penyakit sama atau salah satu tanaman tahan terhadap hama dan penyakit.
4. Kedua tanaman merupakan tanaman palawija, misalnya kedelai dengan kacang tunggak/ kacang tanah, kedelai dengan jagung, kedelai dengan ketela pohon.
c) Sistem tanaman tumpangsari Sistem ini biasa diterapkan pada tanah yang mendapat pengairan terus menerus sepanjang waktu, misalnya tanah sawah yang memiliki irigasi teknis. Untuk mendapatkan kedelai yang bermutu baik, biasanya kedelai ditanam bersamaan. Pemilihan waktu tanam kedelai ini harus tepat, agar tanaman yang masih muda tidak terkena banjir atau kekeringan. Karena umur kedelai menurut varietas yang dianjurkan berkisar antara 75-120 hari, maka sebaiknya kedelai ditanam menjelang akhir musim penghujan, yakni saat tanah agak kering tetapi masih mengandung cukup air. Waktu tanam yang tepat pada masing-masing daerah sangat berbeda. Sebagai pedoman: bila ditanam di tanah tegalan, waktu tanam terbaik adalah permulaan musim penghujan. Bila ditanam di tanah sawah, waktu tanam paling tepat adalah menjelang akhir musim penghujan. Di lahan sawah dengan irigasi, kedelai dapat ditanam pada awal sampai pertengahan musim kemarau.


















BAB IV
MATERI DAN METODE

A.  Waktu dan Tempat
Praktikum Dasar-Dasar Agroteknologi ini dilaksanakan selama 2 bulan, yaitu  pada bulan November 2012 sampai dengan bulan Januari 2013. Praktikum ini dilaksanakan di Laboratorium Tanah Universitas Mercu Buana Yogyakarta dan di Kebun Percobaan Universitas Mercu Buana Yogyakarta yang bertempat di Desa Gunung Bulu.
  1. Alat dan Bahan
·         Alat
    1. Cangkul
    2. Sekop
    3. Penggaris
    4. Meteran
    5. Luxmeter
    6. Milimeter block
    7. Hand counter
    8. Timbangan Ohaus
    9. Gunting
    10. Sabit
    11. Gembor
·         Bahan
1.      Benih kedelai
2.      Pupuk Urea
3.      Pupuk TSP
4.      Pupuk KCl
5.      Sampel daun kedelai
B.  Cara Kerja
1.      Penanaman
a.       Disiapkan lahan tanam, setiap petak berukuran 2 m x 3 m.
b.      Dibuat bedengan pada setiap bedengan tersebut.
c.       Dibuat lubang tanam, dengan jarak tanam 10 cm x 10 cm, 20 cm x 20 cm, dan 30 cm x 30 cm.Masing-masing jarak tanam tersebut, dibuat pada 3 petak lahan.
d.      Ditanam benih kedelai pada lubang tanam yang telah tersedia.
e.       Pada setiap lubang tanam berisi 2 benih kedelai.
f.       Dilakukan pemupukan dasar pada tiap petakdengn ppuk kandang dengan kebutuhan pupuk 3 kg/6 .dan diberi pupuk anorganik Masing-masing bedeng dengan dosis Urea 30 gram/ , KCL 60 gram/ , dan TSP 120 gram/
g.      Dilakukan pengamatan secara periodic setiap minggu sekali.
h.      Dilakukan pemupukan susulan.
i.        Dilakukan perhitungan dan pengukuran terhadap Indeks Luas Daun, Intensitas Cahaya, serta penimbangan bobot basah dan bobot kering.
1.      Pengukuran Intensitas Cahaya
a.       Disiapkan alat-alat yang akan digunakan.
b.      Dilakukan pengukuran intensitas cahaya di atas kanopi.
c.       Dilakukan pengukuran intensitas cahaya di bawah kanopi.
d.      Dihitung persentase intensitas cahaya pada tiap petak lahan.
2.      Penimbangan Bobot Basah dan Bobot Kering
a.       Diambil semua tanaman yang menjadi sampel pada tiap pengamatan, sampai ke akar-akarnya.
b.      Ditimbang tanaman tersebut dengan timbangan Ohaus, untuk menentukan bobot basah dari tanaman tersebut.
c.       Dilakukan pengovenan pada tanaman yang telah kering tersebut dengan suhu konstan 93oC.
d.      Ditentukan bobot keringnya, dengan menimbang menggunakan timbangan Ohaus.
e.       Dihitung rata-ratanya pada tiap petak lahan.




BAB V
HASIL PENGAMATAN
A. TINGGI TANAMAN
NO
PETAK
3 MST
4 MST
5 MST
6MST
1
K1 I
18
31,6
52
66,7
2
K2 I
23,6
55,6
80
93,16
3
K3 I
17,16
31,3
52,83
76,17
4
K1 II
21
33
53.7
68
5
K2 II
21
39
58
70
6
K3 II
22
40
64,67
67
7
K1 III
14,17
26
42,1
55,5
8
K2 III
23,26
42,16
60,96
70,95
9
K3 III
20,7
34,3
56,5
66,2

B. JUMLAH DAUN
NO
PETAK
3 MST
4 MST
5 MST
6 MST
1
K1 I
4
6
9
11
2
K2 I
4
5
6
7
3
K3 I
4
5
9
11
4
K1 II
5
8
10
16
5
K2 II
4
8
11
13,3
6
K3 II
4
8
10
13
7
K1 III
4
7
9
14
8
K2 III
4
6
7,3
7,3
9
K3 III
4
6.7
9.7
12.3


C.CAHAYA DATANG
NO
PETAK
3 MST
4 MST
5 MST
6 MST
1
K1 I
807
142
170
819
2
K2 I
383,3
467,3
170,3
1011
3
K3 I
726
180.3
206.67
1027.3
4
K1 II
587
170
181,6
1206
5
K2 II
833,67
138,33
252
1061
6
K3 II
785
219,6
213,67
1138,67
7
K1 III
763,4
127
186,4
886
8
K2 III
552,3
156,3
196,6
1052
9
K3 III
492
157.7
163
1120

D.CAHAYA YANG DI TERUSKAN
NO
PETAK
3 MST
4 MST
5 MST
6 MST
1
K1 I
689
98
50
55,5
2
K2 I
18,5
10,83
37,5
47,83
3
K3 I
480,83
47,33
9,17
17,17
4
K1 II
350,7
48
33,8
43
5
K2 II
351,16
12,83
4,67
787
6
K3 II
335,5
21,67
3,17
9
7
K1 III
505,4
62,4
29
61,17
8
K2 III
122,3
5,5
3,5
19,3
9
K3 III
261,5
28
32,3
15






E.BOBOT SEGAR DAN BOBOT KERING
KETERANGAN
BOBOT SEGAR TANAMAN
BOBOT KERING TANAMAN
4 MST
6 MST
4 MST
6 MST
K1 I
20,64
61,5
5,42
13,91
K2 I
24,7
45,
10,3
12,7
K3 I
24,025
63,16
6,04
12,05
K1 II
18.3
64.7
69.6
70.8
K2 II


9,8
6,53
K3 II
35,2
104,5
6,86
19,28
K1 III
18,1
84,5
4,05
16,75
K2 III
52,5
79,8
13,64
15,93
K3 III
18,9
66,85
5,85
14,85

F.LUAS DAUN
KETERANGAN
PENGAMATAN
5 MST
6 MST
K1 I


K2 I


K3 I
69,61
68,89
K1 II
6.2
17.3
K2 II
57
78,2
K3 II
75,25
77,5
K1 III
4.05
16.75
K2 III
45,00
58,93
K3 III
73,11
74,75

Keterangan:
a.      K I (Jarak Tanam 30x30 cm)
b.      K II (Jarak Tanam 10x10 cm)
c.       K III (Jarak Tanam 20x20 cm)
G.PANJANG DAN LEBAR DAUN KEDELAI
PENGAMATAN 1
NO
Sampel
Daun
Urutan Daun
Panjang
Lebar
Luas
Y=a+bx
1
1
Atas
1
8
6
48
57,95



2
10
7
70
68,73



3
8
5,5
44
55,99


Tengah
1
10
7
70
68,73



2
11
7,5
82,5
74,855



3
11
8,5
93,5
80,245


Bawah
1
12
9
108
87,35



2
12
8
96
81,47



3
11,5
7,5
86,25
76,6925
2
2
Atas
1
11
7,5
82,5
74,855



2
9,5
7
66,5
67,015



3
8,5
6,5
55,25
61,5025


Tengah
1
12,5
8,5
106,25
86,4925



2
11
8
88
77,55



3
11
8
88
77,55


Bawah
1
12
9
108
87,35



2
13
9.5
123,5
94,945



3
12
8
96
81,47
3
3
Atas
1
7
5
35
51,58



2
6
4
24
46,19



3
5,5
4
22
45,21


Tengah
1
10,5
8,5
89,25
78,1625



2
9,5
7,5
71,25
69,3425



3
9
7
63
65,3


Bawah
1
12,5
8,5
106,25
86,4925



2
12,5
9
112,5
89,555



3
12
8
96
81,47

PENGAMATAN II
No
Sampel
Daun
Urutan Daun
Panjang
Lebar
Luas
Y=a+bx
1
1
Atas
1
8
7,5
60
63,83



2
10
7,5
75
71,18



3
8
6
48
57,95


Tengah
1
10,5
8
84
75,59



2
11
7,5
82,5
74,855



3
11
8,5
93,5
80,245


Bawah
1
12
9
108
87,35



2
12
8
96
81,47



3
12
7,5
90
78,53
2
2
Atas
1
11
7,5
82,5
74,855



2
10
7,5
75
71,18



3
10
6,5
65
66,28


Tengah
1
13
8,5
110,5
88,575



2
12
8,5
102
84,41



3
11
8
88
77,55


Bawah
1
12
9
108
87,35



2
13
9,5
123,5
94,945



3
12
8
96
81,47
3
3
Atas
1
7
5
35
51,58



2
6
4
24
46,19



3
6
4
24
46,19


Tengah
1
11
8,5
93,5
80,245



2
10
8
80
73,63



3
9
7
63
65,3


Bawah
1
12,5
8,5
106,25
86,4925



2
12,5
9
112,5
89,555



3
12
8
96
81,47

BAB VI
PEMBAHASAN

Dalam praktikum agroteknologi ini kita mempelajari proses budidaya kedelai varietas Anjasmara dan mengamati pertumbuhannya sejak dari penanaman, pemeliharaan, sampai pengukuran luas daun. Adapun substansi dari pengamatan pertumbuhan kedelai yaitu tinggi tanaman, jumlah daun, luas daun, bobot basah dan bobot kering, pengukuran cahaya datang dan cahaya diteruskan. Pada pembahasan ini akan dibahas tentang pengaruh jarak tanam utamanya dalam substansi pengamatan pertumbuhan kedelai.
Jarak tanam suatu tanam, sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman tersebut. Jarak tanam yang baik adalah jarak tanam yang tidak terlalu sempit, tetapi juga tidak terlalu lebar. Yang perlu diperhatikan adalah intensitas cahaya yang terserap oleh tanaman tersebut. Jarak tanam yang terlalu sempit, mengakibatkan suatu tanaman tidak dapat bertumbuh dan berkembang dengan baik karena cahaya yang diserap oleh tanaman tersebut tidak dapat sesuai dengan kebutuhan yang dibutuhkan oleh tanaman tersebut. Hal ini terjadi karena cahaya yang seharusnya masuk dan diserap oleh tanaman, terhalang oleh naungan-naungan disekitarnya dan oleh lebatnya daun pada tanaman disekitarnya. Selain itu, jarak tanam yang terlalu sempit menyebabkan tanaman-tanaman tersebut saling berebut makanan (unsure hara) yang terkandung di dalam tanah, sehingga menyebabkan tanaman tidak dapat tumbuh dengan optimal. Sedangkan jika jarak tanam suatu tanaman terlalu lebar, intensitas cahaya yang diserap oleh suatu tanaman akan melebihi kebutuhan tanaman tersebut, hal ini dapat menyebabkan tanaman menjadi mati, hangus, maupun layu.  Dari segi ekonomis, penanaman dengan jarak tanam yang terlalu lebar, sangat merugikan. Karena, pupuk dan unsure hara dalam tanah menjadi percuma, hal ini disebabkan karena pupuk dan unsure hara tersebut telah melebihi kebutuhan tanaman.
Pada minggu pertama didapatkan rata-rata tinggi tanaman pada jarak tanam 10x10 sebesar 19,6cm ,pada jarak tanam 20x20 adalah 19,3cm , dan untuk jarak tanam 30x30 sebesar 21 cm. Pada pengamatan ini dapat dilihat bahwa jarak tanam 30x30 menunjukkan pertumbuhan terbaik dan selalu mengalami peningkatan yang melonjak naik seiring dengan perputaran waktu. Ini disebabkan karena pada jarak tanam 30x30 tanaman mendapatkan cukup ruang untuk memperoleh unsur hara yang dibutuhkan untuk proses pertumbuhan dan perkembangan tanaman sehingga asupan nutrisinya tercukupi dan tumbuh dengan baik. Pada K2I dengan perlakuan jarak tanam jarak tanam 10x10 cm dapat dilihat bahwa pertumbuhan terlalu tinggi hingga mencapai 93,16 (6 MST) atau kurang ideal dibanding dengan pertumbuhan tinggi kedelai dengan perlakuan jarak yang sama. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh 2 faktor yaitu faktor teknis seperti kesalahan pengukuran dimana tinggi tanaman yang seharusnya diukur dari batang tanaman bagian bawah sampai sebelum tunas apikal, namun diukur hingga pucuk tunas. Faktor yang kedua berasal dari kondisi lingkunagn dimana pada jarak tanam yang sempit tanaman akan cenderung kekurangan cahaya disebabkan jumlah tanaman yang banyak pada luasan yang sama sehingga tanaman cenderung tumbuh keatas seperti pada peristiwa etiolasi. Umumnya tanaman yang ditanam pada jarak terlalu sempit seperti ini akan cenderung memperebutkan unsur hara dan kekurangan cahaya akibat banyaknya tanaman yang ada pada luasan bedengan tersebut sehingga tanaman tumbuh tinggi dan memiliki diameter batang yang kecil yang akan berakibat pada mudah robohnya batang tersebut apabila terkena angin dan iklim yang kurang mendukung. Dan pertumbuhan tanaman yang terlalu tinggi ini kurang baik karena tingginya bukan normal karena pertumbuhan tapi karena kekurangan cahaya.
Jarak tanam juga berpengaruh pada jumlah daun kedelai dimana daun merupakan organ yang vital bagi tanaman karena merupakan asimilator dan membantu proses fotosintesis, respirasi dan transpirasi. Terbukti dengan adanya  peningkatan jumlah daun pada pengamatan 1,2,3 dan 4 yaitu 4,8,11,13 pada jarak tanam 30x30 cm. Ini merupakan pertumbuhan terbaik jika dibandingkan dengan perlakuan jarak tanam yang lain. Terdapat korelasi antara tinggi tanaman dan jumlah daun. Dimana pada tanaman yang tinggi dalam artian tinggi normal atau ideal bukan karena etiolase jumlah daun cenderung akan semakin banyak karena persaingan dalam memperebutkan unsur hara antar tanaman dapat diminimalisir pada jarak tanam 30x30. Sehingga energi hasil fotosintesis dapat digunakan untuk pembuatan percabangan baru dan perbanyakan jumlah daun.    
Pengukuran intensitas cahaya dilakukan pada dua tempat yang berbeda, yaitu di atas kanopi dan di bawah kanopi. Hal ini dilakukan agar dapat digunakan sebagai perbandingan. Pada pengukuran diatas kanopi, intensitas cahaya yang muncul akan lebih besar daripada di bawah kanopi, karena terkena sinar matahari langsung. Sedangkan pengukuran di bawah kanopi, hasil intensitas cahaya yang didapat akan lebih sedikit, karena ternaungi oleh tanaman diatasnya. Hasil dari pengukuran intensitas cahaya di atas kanopi dan di bawah kanopi tersebut, kemudian dihitung agar mendapatkan persentase naungan pada tiap petak lahan. Umumnya besar cahaya datang lebih tinggi dari cahaya diteruskan karena cahaya datang diukur dari atas tanaman/ kanopi dimana lightmeter akan mendapatkan cahaya lebih banyak sedangkan cahaya diteruskan diukur dari bawah kanopi sehingga prosentasenya lebih kecil disebabkan intensitas cahaya dibawah kanopi lebih sedikit karena terhalang tanaman-tanaman atau dedaunan disekitarnya.
Pengamatan terhadap cahaya diteruskan ternyata semakin lama semakin sedikit. Hal ini dikarenakan tanaman semakin lama semakin tumbuh dan berkembang menjadi besar. Daun-daun juga melebar sehingga kapasitas cahaya diteruskan dari suatu tanaman semakin sedikit.
Bobot basah digunakan untuk mengetahui kadar air dari tanaman sedangkan bobot kering digunakan untuk mengetahui hasil fotosintesis tanaman saat tanaman mencapai fase pertumbuhan maksimal. Dari hasil pengamatan ditemukan bahwa hasil fotosintesis terbanyak dihasilkan oleh tanaman pada perlakuan jarak tanam 30x30 cm. Karena dengan jarak tanam ini tanaman memiliki cukup ruang untuk menyerap nutrisi sehingga fotosintesis berjalan lancar. Daun yang terbentuk juga banyak sehingga energi hasil fotosintesis juga banyak.
Jarak tanam suatu tanaman sangat berpengaruh terhadap Indeks Luas Daun(ILD)  tanaman tersebut. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, diperoleh hasil perhitungan ILD dari masing-masing jarak tanam tersebut. Dimana pada jarak tanam yang sempit maka ILD akan kecil karena unsur hara yang diserap hanya sedikit sehingga daun kecil tidak bisa tumbuh. Berdasarkan hasil perhitungan tersebut, dapat diambil kesimpulan, bahwa dari ketiga jarak tanam tersebut (10x10 cm, 20x20 cm, 30x30 cm), yang paling baik adalah pada jarak tanam 30 cm x 30 cm. Hal ini dapat terjadi karena jarak tanam tersebut merupakan jarak tanam yang proposional dalam penanaman tanaman kedelai varietas Arjuna ini, sehingga kebutuhan pupuk pada tanaman kedelai yang ditanamnya dapat terpenuhi. Jarak tanam yang terlalu sempit, mengakibatkan suatu tanaman tidak dapat bertumbuh dan berkembang dengan baik karena cahaya yang diserap oleh tanaman tersebut tidak dapat sesuai dengan kebutuhan yang dibutuhkan oleh tanaman tersebut. Hal ini terjadi karena cahaya yang seharusnya masuk dan diserap oleh tanaman, terhalang oleh naungan-naungan disekitarnya dan oleh lebatnya daun pada tanaman disekitarnya. Selain itu, jarak tanam yang terlalu sempit menyebabkan tanaman-tanaman tersebut saling berebut makanan (unsure hara) yang terkandung di dalam tanah, sehingga menyebabkan tanaman tidak dapat tumbuh dengan optimal. Sedangkan jika jarak tanam suatu tanaman terlalu lebar, intensitas cahaya yang diserap oleh suatu tanaman akan melebihi kebutuhan tanaman tersebut, hal ini dapat menyebabkan tanaman menjadi mati, hangus, maupun layu.  Dari segi ekonomis, penanaman dengan jarak tanam yang terlalu lebar, sangat merugikan. Karena, pupuk dan unsure hara dalam tanah menjadi percuma, hal ini disebabkan karena pupuk dan unsure hara tersebut telah melebihi kebutuhan tanaman.
Selain disebabkan oleh pengaruh jarak tanam, ternyata ada beberapa pertumbuhan kedelei yang ditanam pada jarak tanam yang sama namun terjadi perbedaan yang signifikan seperti pada pertumbuhan tinggi K2 I yang mengalami kesenjangan dengan sesamanya yang sama-sama memiliki jarak tanam yang sama, serta data  luas daun kedelai yang memili perbedaan tiap kelompok. Ini diantaranya dipengaruhi oleh faktor lingkungan dimana ada tanaman yang disiram dan ada pula yang dibiarkan begitu saja kekurangan unsur hara sehingga tanaman tumbuh kurang proporsional sebagaimana mestinya padahal kondisi iklim di daerah setempat tidak menentu terkadang kering, panas dan terkadang juga terjadi hujan lebat yang bisa merobohkan sebagian tanaman.
                  









KESIMPULAN

1.    Jarak tanam mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan  tanaman kedelai seperti tinggi tanaman, jumlah daun, luas daun, cahaya datang dan diteruskan, bobot basah dan bobot kering.
2.    Pada berbagai macam perlakuan budidaya, ternyata jarak tanam 30x30 cm merupakan jarak tanaman terbaik yang memberikan pertumbuhan optimal bagi tanaman kedelai.
3.      Tanaman dengan jarak tanam yang kurang sesuai, mengakibatkan pertumbuhan dan perkembangan tanaman menjadi terhambat. Selain ILDnya yang lebih sedikit, cahaya yang diserap juga tidak sesuai dengan kebutuhan tanaman tersebut. Selain itu bobot dari tanaman tersebut juga kurang mencukupi.
4.      Cahaya datang nilainya lebih besar daripada cahaya diteruskan.













DAFTAR PUSTAKA
Adisarwanto, T. 2005. Budidaya dengan Pemupukan yang Efektif dan Pengoptimalan Peran Bintil Akar Kedelai.Bogor: Penebar Swadaya.

Adisarwanto, T. dan R. Wudianto. 1999. Meningkatkan Hasil Panen Kedelai di Lahan Sawah-Kering-Pasang Surut. Penebar Swadaya. Bogor. 86 hal.
Fachruddin, Lisdiana. Ir.2000.Budidaya Kacang-kacangan.Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Hidayat, O. D. 1985. Morfologi Tanaman Kedelai. Hal 73-86. Dalam S.Somaatmadja et al. (Eds.). Puslitbangtan. Bogor.

Manik,T.K.,M. kamal dan K.Setiawan. 1993. Tanggapai berbagai varietas kedelai (Glycine max(L) Merril) pada populasi tanaman terhadap pola intersepsi cahaya dan komponen hasil. Palembang : Prosiding Seminar Penelitian BKS-Barat.

Setyati, SH. 1999. Pengantar Agronomi. Jakarta: Gramedia.

Sumarno dan Harnoto. 1983. Kedelai dan cara bercocok tanamnya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Buletin Teknik 6:53 hal.

Suprapto, H. 1998. Bertanam kedelai. Penebar Swadaya. Jakarta.











LAMPIRAN
Perhitungan Luas Daun Dengan Menggunakan Rumus Segresi
Pengamatan 1
 Y= 34,43 + 0,49 X
A.  Sampel Daun Atas
Y   =  a+bx
     = 34,43 + 0,49 . 48
     = 57,95
Y   =  a+bx
     = 34,43 + 0,49 . 70
     = 68,73
Y   =  a+bx
     = 34,43 + 0,49 . 44
     = 55,99
B.   Sample Daun Tengah
Y   =  a+bx
     = 34,43 + 0,49 .70
     = 68,73
Y   =  a+bx
     = 34,43 + 0,49 .82,5
     = 74,86
Y   =  a+bx
     = 34,43 + 0,49 .93,5
     = 80,25
C.   Sampel daun bawah
Y   =  a+bx
     = 34,43 + 0,49 .108
     = 87,35
Y   =  a+bx
     = 34,43 + 0,49 .86,25
     = 76,69
Y   =  a+bx
     = 34,43 + 0,49 . 82,5
     = 74,86
A.    Sampel Daun Atas
Y   =  a+bx
     = 34,43 + 0,49 .66,5
     = 67,02
Y   =  a+bx
     = 34,43 + 0,49 .55,25
     = 61,5
Y   =  a+bx
     = 34,43 + 0,49 .106,25
     = 86,5
B. Sampel Daun Tengah
Y   =  a+bx
     = 34,43 + 0,49 .88
     = 77,55
Y   =  a+bx
     = 34,43 + 0,49 .88
     = 77,55
Y   =  a+bx              
     = 34,43 + 0,49 .108
     = 87,35
C. Sampel Daun Bawah
Y   =  a+bx              
     = 34,43 + 0,49 .123,5
     = 94,95
Y   =  a+bx              
     = 34,43 + 0,49 .96
     = 81,47                
Y   =  a+bx              
     = 34,43 + 0,49 .35
     =51,58                 
A. Sampel daun atas
Y   =  a+bx              
     = 34,43 + 0,49 .24
     = 46,19                
Y   =  a+bx              
     = 34,43 + 0,49 .22
     = 45,21


B. Sampel Daun Tengah
Y   =  a+bx              
     = 34,43 + 0,49 .89,25
     = 78,16                
Y   =  a+bx              
     = 34,43 + 0,49 .71,25
     = 69,34                
Y   =  a+bx              
     = 34,43 + 0,49 .63
     = 65,3                  
C. Sampel Daun Bawah
Y   =  a+bx              
     = 34,43 + 0,49 .106,25
     = 86,5
Y   =  a+bx              
     = 34,43 + 0,49 .112,25
     = 89,44
Y   =  a+bx              
     = 34,43 + 0,49 .96
     = 81,47                
Pengamatan ke II
A. Sampel daun atas
Y   =  a+bx                      
     = 34,43 + 0,49 .60
     =63,83
Y   =  a+bx                      
     = 34,43 + 0,49 .75
     = 70,69
Y   =  a+bx                      
     = 34,43 + 0,49 .48
     = 57,95                
B. Sampel Daun tengah
Y   =  a+bx                      
     = 34,43 + 0,49 .84
     = 75,6
Y   =  a+bx                      
     = 34,43 + 0,49 .82,5
     = 74,86                
Y   =  a+bx                      
     = 34,43 + 0,49 .93,5
     = 80,25                
C. Sampel Daun Bawah
Y   =  a+bx                      
     = 34,43 + 0,49 .108
     = 87,35
Y   =  a+bx                      
     = 34,43 + 0,49 .96
     = 81,47
Y   =  a+bx                      
     = 34,43 + 0,49 .90
     = 78.53                
A. Sampel daun atas
Y   =  a+bx                      
     = 34,43 + 0,49 .82,5
     = 74,86                
Y   =  a+bx                      
     = 34,43 + 0,49 .75
     = 71,18                
Y   =  a+bx                      
     = 34,43 + 0,49 .65
     = 66,28                
B. Sampel daun tengah
Y   =  a+bx                      
     = 34,43 + 0,49 .110,5
     = 88,58                       
Y   =  a+bx                      
     = 34,43 + 0,49 .102
     =84,41                        
Y   =  a+bx                      
     = 34,43 + 0,49 .88
     = 77,55                       
C. Sampel daun bawah
Y   =  a+bx                      
     = 34,43 + 0,49 .108
     = 87,25                
Y   =  a+bx                      
     = 34,43 + 0,49 .123,5
= 94,95
Y   =  a+bx                      
     = 34,43 + 0,49 .96
= 81,47
A. Sampel daun atas
Y   =  a+bx                      
     = 34,43 + 0,49 .35
= 51,58
Y   =  a+bx                      
     = 34,43 + 0,49 .24
= 46,19
Y   =  a+bx                      
     = 34,43 + 0,49 .24
= 46,19
B. Sampel daun tengah
Y   =  a+bx                      
     = 34,43 + 0,49 .93,5
= 80,25
Y   =  a+bx                      
     = 34,43 + 0,49 .80
= 73,63
Y   =  a+bx                      
     = 34,43 + 0,49 .63
= 65,3
C. Sampel daun bawah
Y   =  a+bx                      
     = 34,43 + 0,49 .106,25
= 86,62
Y   =  a+bx                      
     = 34,43 + 0,49 .112,5
= 89,4
Y   =  a+bx                      
     = 34,43 + 0,49 .96
= 81,47







Penghitungan Kebutuhan Pupuk
a.      KI (Jarak Tanam 30x30 cm)
b.      KII (Jarak Tanam 10x10 cm)
c.       KIII (Jarak Tanam 20x20 cm)
Penanaman 2 benih per lubang tanam
Kebutuhan pupuk
Pupuk kandang 5 ton/ha =
Luas lahan = 4m x 1,5m = 6 m2
Kebutuhan pupuk per bedeng = 6 x 0,5 = 3 kg/bedeng
Kebutuhan pupuk rekomendasi
1.        Urea = 50 kg/ha =
       Urea/bedeng = 5 x 6 = 30 gr/6 m2
2.        TSP 200 kg/ha =
TSP/ bedeng = 20 x 6 = 120 g/6 m2
3.        KCl 100 kg/ha =
KCl/bedeng = 10 x 6 = 60 g/ 6 m2
Cara pemupukan dengan pembuatan lajur di setiap pertengahan tanaman.
Pemupukan pertama dilakukan pada 3 MST
                                                                                                                               








Proses Budidaya Tanaman kedelai

No.
Proses Perlakuan
Waktu
1
Penanaman dan pemberian pupuk dasar
Hari ke-1
2
Penjarangan dan penyulaman
1 (MST)
3
Penyulaman dan pembumbunan
2 (MST)
4
Pemberian pupuk kimia (Urea, KCl, TSP)
3 (MST)
5
Penyiraman
1 hari sekali
6
Pengamatan pertumbuhan
3-6 (MST)
7
Pengambilan bobot basah dan bobot kering
4 & 6 (MST)
8
Pengamatan luas daun
5 & 6 (MST)