MAKALAH AGROTEK SEREALIA & UMBI
JUWAWUT (Pennisetum hypoides)
Disusun
Oleh:
PROGRAM
KEAHLIAN AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS
AGROINDUSTRI
UNIVERSITAS
MERCU BUANA YOGYAKARTA
2013
JUWAWUT (Pennisetum hypoides)
SYARAT TUMBUH, BUDIDAYA, & TATA
NIAGA
1.
SYARAT TUMBUH JUWAWUT
Tanaman jewawut memiliki adaptasi yang baik pada daerah
bercurah hujan rendah bahkan di daerah kering sekalipun. Jewawut dapat
ditanam di daerah semi kering dengan curah hujan kurang dari 125 mm selama masa
pertumbuhan yang pada umumnya sekitar 3-4 bulan. Tanaman ini tidak tahan
terhadap genangan dan rentan terhadap periode musim kering yang lama. Di daerah
tropis, tanaman ini dapat tumbuh pada daerah semi kering sampai ketinggian
2.000 m dpl. Tanaman ini menyukai lahan subur dan dapat tumbuh baik pada
bebagai jenis tanah, seperti tanah berpasir hingga tanah liat yang padat, dan
bahkan tetap tumbuh pada tanah miskin hara atau tanah pinggiran. Sedangkan pH
yang cocok untuk tanaman ini adalah 4-8. (Grubben dan Partohardjono, 1996).
Jewawut di petani dikenal dengan
berbagai nama lokal. Jewawut ditanam pada lahan kering di musim hujan periode
Pebruari-Juni bersama dengan padi gogo atau dipinggiran kebun berteras sebagai
penahan erosi kebuh jagung.
Jewawut ditanam tumpangsari dengan
padi gogo. Tanaman jewawut berumur lebih cepat sekitar satu bulan dari padi karena berumur 3 bulan,
sehingga jewawut tergolong lebih hemat menggunakan air dari pada padi dan
jagung. Sedangkan jewawut yang ditanam sisipan dengan tanaman jagung memiliki
umur panen yang bersamaan dengan jagung.
Tanaman
ini sangat mudah untuk dibudidayakan karena di tanam pada lahan-lahanladang
penduduk dengan cara tanah yang digembur ditaburi dengan biji Jewawut. Kemudian
tanaman ini tidak memiliki musim dan bisa ditanam sepanjang tahun dengan
mempertimbangkan kondisi pertumbuhannya. Kemudian tidak membutuhkan jenis tanah
khusus. Olehnya itu, bisa ditanam dimana saja dengan cara ditabur.
2.
BUDIDAYA
JUWAWUT
Perbanyakan
:
Jenis ini dapat diperbanyak dengan
biji, baik ditaburkan atau ditanam dalam lubang. Kebutuhan benih 8—10 kg/ha
apabila jenis yang ditanam hanya juwawut. Di India, jenis ini sering ditanam
dalam campuran dengan padi-padian, kapas dan gandum.
Sistem
Olah Tanah
Sistem olah tanah yang dapat dimanfaatkan untuk menanam
tanaman jewawut, sorghum, gandum, dan wijen terdiri atas tiga metode atau cara,
yaitu sistem olah tanah konvensional (yang menggunakan guludan/ bedengan),
sistem olah tanah minimum (pada tanah yang subur atau gembur) dan sistem tanpa
olah tanah. Berikut beberapa macam olah tanah yang biasa digunakan:
2.3.1
Sistem Olah Tanah Konvensional (Guludan atau Bedengan)
Prinsip dari sistem olah tanah konvensional (guludan atau
bedengan) adalah mengolah tanah secara keseluruhan, yaitu dengan cara manual
dan menggunakan cangkul atau linggis kemudian membongkar dan membalik tanah
lalu diratakan. Tanah yang akan ditanami tanaman harus dibersihkan dari tanaman
pengganggu seperti gulma. Tanah yang telah bersih kemudian dibentuk guludan
atau semacam bedengan dengan saluran drainasenya agar dapat membuang kelebihan
air pada musim-musim hujan. Guludan adalah tumpukan tanah yang
dibuat memanjang menurut arah garis kontur atau memotong lereng. Tinggi
tumpukan tanah sekitar 25–30 cm dengan lebar dasar sekitar 30–40 cm. Jarak
antara guludan tergantung pada kecuraman lereng, kepekaan erosi tanah, dan
erosivitas hujan. Guludan dapat diperkuat dengan menanam rumput atau
tanaman perdu (Chairani, 2010).
Keuntungan
dari olah tanah konvensional adalah pertumbuhan tanaman akan subur sebab aliran
aerase atau pertuara udara dalam tanah menjadi lancar, pori-pori tanah juga
semakin banyak menyerap air dan unsur hara yang diperlukan tanaman. Namun, ada
juga kerugian dari pengolahan tanah konvensional yaitu membutuhkan tenaga kerja
yang lebih banyak dan penggunaan waktu juga kurang efisien sebab selain
membutuhkan tenaga kerja yang lebih banyak juga membutuhkan waktu yang agak
lama dibandingkan dengan olah tanah yang lain sebab dalam olah tanah ini, semua
permukaan tanah diolah tanpa terkecuali bahkan tanah yang tidak ditanami (Chairani,
2010).
2.3.2
Sistem Olah Tanah Minimum (Pada Tanah Subur atau Gembur)
Pengolahan tanah minimum hanya dapat
dilakukan pada tanah yang gembur. Tanah gembur dapat terbentuk sebagai hasil
dari penggunaan mulsa secara terus menerus dan atau pemberian pupuk (baik pupuk hijau, pupuk kandang, atau kompos) dari bahan
organik yang lain secara terus menerus. Penerapan teknik pengolahan tanah
minimum perlu disertai denganpemberian mulsa. Keuntungan olah tanah minimum adalah
menghindari kerusakan struktur tanah, mengurangi aliran permukaan dan erosi,
memperlambat proses mineralisasi, mengefisienkan tenaga kerja daripada
pengelolaan penuh, dan dapat
diterapkan pada lahan-lahan marginal yang jika tidak dengan cara ini mungkin
tidak dapat diolah. Kerugian dari olah tanah minimum adalahpersiapan
bedengan yang kurang memadai dapat menyebabkan pertumbuhan yang kurang baik dan
produksi yang rendah, lebih cocok untuk tanah yang gembur, pemberian mulsa
perlu dilakukan secara terus menerus, herbisida diperlukan apabila pengendalian
tanaman pengganggu tidak dilakukan secara manual atau dilakukan secara mekanis (Chairani,2010).
2.3.3
Sistem Tanpa Olah Tanah
Untuk sistem tanpa olah tanah, juga bisa diterapkan pada tanah-tanah yang subur atau gembur. Sistem tanpa
olah tanah merupakan bagian dari konsep olah tanah konservasi yang mengacu kepada
suatu sistem olah tanah yang melibatkan pengolahan mulsa tanaman ataupun gulma (tanaman pengganggu). Budidaya
pertanian tanpa olah tanah sebetulnya berangkat dari corak pertanian
tradisional yang dimodifikasikan, dengan memasukkan unsur kimiawi untuk
mengendalikan gulma, dalam hal ini herbisida. Persiapan lahan cukup dilakukan
dengan penyemprotan, gulma mulai mati dan mengering, lalu
direbahkan selanjutnya dibenamkan dalam lumpur (Nursyamsi, 2004).
Persiapan lahan pada sistem TOT (tanpa olah tanah) dapat dilakukan
dengan menggunakan herbisida. Glyfosat merupakan salah satu herbisida yang
banyak digunakan untuk mempersiapkan lahan TOT. Aplikasi herbisida pada lahan
TOT seringkali menimbulkan adanya pergeseran gulma yang tumbuh berikutnya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi gulma yang tumbuh pada
saat persiapan lahan serta untuk membandingkan pengaruh saat aplikasi dan dosis
herbisida glyfosat terhadap pergeseran gulma (Nurjanah, 2011).
Berikut teknik budidaya yang dapat diterapkan
pada juwawut:
a. Budidaya
tanaan jewawut ini agak mirip dengan tanaman sorgum. Untuk penanamnnya dapat
dilakukan di lahan maupun di dalam green house untuk menjaganya dari
gangguan hama seperti burung dan hama tikus karena jewawut
ini termasuk tanaman yang digemari oleh kedua jenis hama ini. Sama
dengan sorgum, benih jewawut tidak disemaikan tetapi dapat langsung di tanam
pada suatu media tanam ataupun lahan penanaman dengan jumlah benih yang ditanam
sebanyak satu jumput atau malai dalam satu lubang tanam .Jarak tanam yang cocok
untuk tanaman jewawut pada luas areal 2 x 3 meter adalah 75 x 20 cm
atau 70x 25 cm.
b. Penyulaman,
mengganti tanaman lama yang tumbuhnya tidak normal, rusak atau terkena hama
penyakit dengan mencabut seluruh akarrnya kemudian diganti dengan tanaman baru
pada lubang bekas tanaman tersebut.
c. Pemberian
Ajir. Pemberian cagak untuk memperkuat berdirinya juwawut. Biasanya dilakukan
2-3 MST.
d. Pemangkasan,
merupakan proses pemotongan tunas/cabang yang tumbuh tidak produktif. Pelaksanaannya
dilakukan 2 tahap, pertama pada saat pemasangan ajir selanjutnya pemangkasan
kedua dilakukan 3-4 minggu setelah pemangkasan pertama.
e. Penyiangan
f. Roguing
g. Proses
pemupukannya dapat dilakukan dengan menggunakan pupuk Urea, TSP dan KCL dengan
perbandingan 2 : 1 : 1 dan jika perlu menambahkan fosfor sebagai
pelengkap.
h. Proses
pemeliharaannya yang perlu dilakukan adalah penyiraman di mana di lakukan untuk
membantu pertumbuhan tanaman. Penyiraman ini sebaiknya dilakukan 2 kali sehari
agar tanaman tersebut tidak mengalami kekeringan selama pertumbuhannya.
i. Penyulaman
perlu juga dilakukan jika ada tanaman yang tidak tumbuh pada suatu lubang
tanam. Selain itu, dapat pula dilakukan penyiangan untuk membersihkannya
dari hama dan penyakit seperti gulma dan serangga perusak tanaman
dengan menyemprotkan pestisida ke bagian tanaman yang terserang.
j. Pengendalian
hama & penyakit. Tanaman juwawut termasuk tanaman yang tahan terhadap
serangan hama penyakit. Meskipun demikian tetap ada beberapa jenis hama dan
penyakit yang menyerang, namun apabila tanaman ini dirawat dengan baik kecil
kemungkinan akan terserang hama penyakit. Oleh karena itu tindakan preventif /
berjaga-jaga sangat dianjurkan agar tanaman tidak terserang.
3.
TATA
NIAGA JUWAWUT
Jewawut atau millet menempati urutan ke-enam
sebagai biji-bijian paling utama dan dikonsumsi sepertiga penduduk dunia. Salah
satu sumber utama penyedia energi, protein, vitamin dan mineral, kaya vitamin B
terutama niacin, B6 dan folacin juga asam amino esensial seperti
isoleusin, leusin, fenilalanin dan treonin serta mengandung senyawa nitrilosida
yang sangat berperan menghambat perkembangan sel kanker (anti kanker), juga
menurunkan resiko mengidap penyakit jantung (artheriosclerosis, serangan
jantung, stroke dan hipertensi). Jewawut tumbuh subur di daerah bersuhu tinggi,
terbatas ketersediaan air, tanpa aplikasi pupuk dan masukan teknologi lainnya,
dan di lahan kritis yang sulit ditanami biji-bijian lain seperti gandum serta
padi (Bhuja, 2009).
Jewawut
dalam bentuk biji, juga mudah diperoleh di warung pakan burung yang ada di
pasar desa, pasar kecamatan dan pasar kabupaten. Di pasar Narmada terdapat
beberapa kios/warung penjual pakan burung berupa jewawut warna coklat tua,
coklat muda maupun hitam seperti jewawut yang ditemukan di lapangan. Menurut
penjual pakan burung, jenis jewawut tersebut dibeli dari Jawa (Surabaya). Jewawut berukuran biji besar maupun biji
kecil dijual seharga Rp. 6.000/kg.
Jewawut berukuran biji besar ada yang berwarna merah coklat, coklat,
kuning muda atau krem, putih dan juga warna hitam. Berbagai macam jenis jewawut ditemukan pula
di pasar burung Mandalika, Baratais.
Jewawut yang berukuran biji besar diduga termasuk jenis pear millet
(Pennisetum glaucum). Sedangkan jewawut
berbiji kecil diduga termasuk millet jenis Panicum miliaceum atau proso millet
dan Panicum ramosum atau bronstop millet.
Cara
tradisional pemanfaatan jewawut adalah sebagai makanan selingan berupa bubur
betem, dodol betem dan bajet betem. Petani sampel belum pernah menjual jewawut
ke pasar burung
Tanaman
jewawut juga dapat diolah menjadi tepung untuk mensubtitusi tepung beras. Hal
ini dikarenakan jewawut mengandung sumber vitamin B dan beta karoten. Biji
jewawut dapat pula dijadikan bahan minuman penyegar seperti milo dengan cukup
ditambah dengan coklat dan susu. Tanaman yang banyak ditanam di daerah Jawa,
NTT, dan NTB ini ditanami oleh para petani tradisional yang biasanya mengenal
jewawut sebagai tanaman serealia dengan ekonomi minor.
Di
negara-negara maju, jewawut telah banyak dimanfaatkan sebagai sumber bahan
makanan di berbagai negara di dunia ini. Salah satu pemanfaatannya adalah
sebagai bahan baku untuk pembuatan bahan makanan lain. Pemanfaatan juwawut
dibagi berdasarkan bentuknya, yakni biji utuh (whole grain) atau biji yang mengalami
proses pengolahan (crackedgrain), bubur kental (stiff porridge), roti tidak
beragi (unleavened bread), roti beragi (leavened bread), berbagai macam makanan
ringan (miscellanous snacks), dan berbagai jenis minuman (beverages) di
berbagai negara.
Masyarakat
Indonesia dan khususnya masyarakat Sumba belum mengenal Jewawut sebagai sumber
pangan pengganti nasi, sehingga selama ini tanaman jewawut hanya dijadikan
sebagai pakan burung atau makanan alternatif karena kelaparan / musim lapar /
paceklik. Sehingga dianggap makanan orang yang terkena musibah kelaparan.
Selain
itu juga dapat berfungsi sebagai obat kanke, sebagai diriuretic, astringent,
digunakan untuk mengobati rematic.
Jewawut jenis pear millet memiliki potensi hasil 3,5
t/ha jika dibudidayakan secara optimum (Duke, 1978). Informasi ini memberikan gambaran bahwa
sistem produksi millet yang intensif dapat bernilai efisien. Millet dapat ditumpangsarikan dengan padi
gogo, atau sebagai tanaman sisipan sebelum jagung di panen. Jika potensi hasil
millet mencapai 2,5 t saja dan harga pembelian millet di pasar burung Mandalika
Rp. 4.000/kg (Rp. 6000/kg harga jual), maka dari luasan 1 ha dapat meraih
pendapatan sebesar Rp. 10 juta.
Di Indonesia,
pengolahan jewawut masih sangat terbatas. Namun di beberapa daerah jewawut
telah dimanfaatkan dengan cara mengolahnya menjadi nasi tetapi masih dilakukan
secara sederhana. Awalnya jewawut tersebut dijemur, disosoh, hingga hanya
terdapat bagian daging atau endospermanya saja. Selanjutnya, jewawut yang
dicampur dengan gula merah dan kelapa, pemanfaatan ini hampir sama dengan
memasak beras ketan. Secara tradisional pemanfaatan jewawut yang lain yaitu
dengan mengolahnya menjadi bubur, dodol, dan bajet.
Tepung jewawut juga dapat dimanfaatkan
sebagai bahan baku pembuatan produk mie. Hal ini dikarenakan kandungan
proteinnya yang hampir sama dengan tepung terigu dan bahkan mengandung protein
gluten. Gluten adalah protein lengket dan elastis yang dapat membuat adonan
menjadi kenyal dan dapat mengembang karena bersifat kedap udara. Sifat elastis
gluten pada adonan mie menyebabkan mie yang dihasilkan tidak mudah putus pada
proses pencetakan dan pemasakan.
Tepung Millet
Tepung millet akan banyak mengandung
serat yang sangat bermanfaat bagi tubuh manusia yaitu memperlancar proses
metabolisme. Hasil tepung ini sangat cocok untuk dikonsumsi oleh orang yang
sedang melakukan program diet. Sedangkan kelebihan dari alternatif pilihan
kedua adalah tepung yang dihasilkan lebih cerah. Setelah tepung millet
diperoleh, barulah tepung tersebut dimanfaatkan dan diolah menjadi beberapa
jenis bahan makanan (Sholikhah, et al., 2008).
Pengemasan
Tujuan
pengemasan adalah untuk melindungi bahan dari kerusakan fisik akibat tekanan,
melindungi produk dari cemaran, serta memudahkan penyimpanan, pengangkutan, dan
distribusi. Kemasan dapat dijadikan alat
pemikat bagi pembeli. Dengan kemasan yang tepat, produk mie akan dapat
dilindungi dari pengaruh lingkungan yang dapat mempercepat kerusakan dan mempersingkat
umur simpannya (Suyanti, 2008). Agar produk mie instan tahan lama maka akan
dibutuhkan pengemas primer yang bersifat kedap air, rasa, bau, dan warna.
Kemasan primer yang biasa digunakan adalah plastik polipropilen atau
polietilen. Kemasan ini bersifat sekali pakai. Dalam penggunaanya, kemasan ini
biasanya dilapisi dengan oriented polypropilen (OPP) sehingga tahan
terhadap berbagai jenis kerusakan (Astawan, 2008).
DAFTAR PUSTAKA
Astawan, 2008. Juwawut.
diakses dari http://www.gizi.net/cgi-bin/berita/fullnews. cgi? newsid1093402541,40984, pada tanggal 20 desember 2010
Bhuja, 2009. Teknologi
Budidaya Millet.Departemen Pertanian Balai Informasi
Pertanian Provinsi Irian Jaya. Jayapura.
Chairani, 2010. Jewawut diakses dari.
http://balitsereal.litbang.deptan.go.id .:pengelolaan-plasmanutfah-jagung
-sorgum-gandum-jewawut &cati .penelitian-2006-2007&Itemid=141. Pada
tanggal 20 desember 2010.
Grubben dan Partohardjono, 1996. Cereal: Plant
Resources of South-East Asia No. 10. PROSEA Bogor, 200 pp.
Suyanti, 2008. Tata
Niaga Serealia. Penerbit Penebar Swadaya. Jakarta, 81
hlm.
waw sangat bermanfaat trimkasih sudah berbagi info pertanian online,
BalasHapuskunjungi balik Cara budidaya porang