Jumat, 19 Mei 2017

Senyaring Bisikanmu, Ibu

Bisikan Hati Ibu



Anakku
Sini kubisikkan sesuatu. Antara keraguan dan pertanyaan yang mulai menggantung di pelupuk mata. Seiring kau beranjak dewasa. Mungkin begitu banyak jawaban atas pertanyaan yang menunggu. Pun sebanyak itu pula kisah yang ingin kusampaikan padamu.

Sayangku,
Mungkin engkau akan banyak menerka. Seberapa penting posisimu dihati ibu? Apakah ibu benar-benar menyayangimu? Sementara sampai saat ini, nyatanya kata itu tak pernah kau dengar keluar dari bibir ini. Rangkulan hangat tak selalu kau dapat. Ucapan kebanggaan tak mesti kau dengar. Bahkan medan juang yang selama ini kau pertaruhkan nampak “terabaikan”.

Sebelum ibu bercerita akan desir-desir kerinduan dan tenggelam dalam harmoni, ijinkan  aku mengajakmu mengingat. Yahhh mengingat akan sebuah masa indah dimana kamu tak memiliki seorangpun untuk bergantung. Tak ada pelipur dan kawan tempat kau bertandang. Melainkan ibu.

Putriku
Ingatkah kamu, waktu masih belia? Kurengkuh engkau diantara angin yang menyibak mesra. Kugendong dan kurawat dengan kesungguhan.  Kuajarkan padamu bagaimana caranya memanjat diantara pepohonan rindang yang membentang. Padang ilalang bak permadani hijau tak lepas dari arena medan permainan. Pun ikan-ikan yang menjadi hewan buruan. Kau terlihat senang bercengkerama diantara mereka. Sementara, ibu terus memacu daya dalam kerja.

Seiring engkau tumbuh, dikala usiamu menginjak 6 tahun, Ibu antarkan engkau masuk ke sekolah. Tempat peraduanmu dalam mengenal huruf, angka, bait, dan cerita. Saat itu Ibu memang sengaja tidak memasukkanmu ke TK (Taman Kanak-kanak) terlebih dahulu. Maklumlah, tempat tinggal kita DI Desa sangat jauh dari akses pendidikan TK. Terlebih kala itu, jalanan raya hanya beralaskan bebatuan terjal yang ditata. Akses kendaraanpun hampir dipastikan tidak ada. Di hari pertama masuk sekolah itu, engkau tampak gugup dan ketakutan. Barangkali karena belum banyak yang kau kenal dan ketahui disini. Kau merengek dan menahan ibu untuk tinggal di sekolah bersamamu.  Tanpa sadar, kau seret tangan ini dengan erat. Disaat yang sama Ibu tak bergeming. Lantas meninggalkanmu di sekolah tanpa menoleh ke belakang sedikitpun. Kejam???. Yahh mungkin itulah stempel yang akan engkau berikan pada ibu.  Namun asal engkau tahu anakku, itulah cara yang ibu lakukan guna mendidikmu agar menjadi wanita yang berani, Mandiri, dan kuat menghadapi kenyataan.

Dikala kecil, engkau termasuk anak yang agak susah dalam belajar. Engkau terlihat antusias manakala memiliki teman yang mampu kau ajak berenang di sungai, beburu ikan dan burung, bermain petak umpet, ataupun sekedar mbolang di pegunungan. Tak jarang engkau berusaha mengelabui Ibu untuk kabur lewat pintu belakang. Sementara ibu punya banyak cara untuk menahanmu di rumah. Ibu kerap kali memintamu untuk belajar membaca dan menulis. Dengan bujukan hingga paksaan. Derai air mata dan jeritan tangis selalu saja kau keluarkan saat kita bersama. Yahh mungkin saja saat itu kau akan berfikir betapa egoisnya ibu yang selalu memangkas waktu bermainmu Maka meski harus perang batin, Ibu tetap bersikeras  mengajarkan huruf demi huruf, kata demi kata padamu. Karena dengan kemampuan membaca dan menulis itu, ibu berharap engkau bisa menjadi anak yang lebih baik.

Mengajarkan arti pendidikan padamu tidak semudah membalikan telapak tangan. Kerja keras ibu membantumu mengerjakan PR dan belajar, nyatanya tak selalu berbuah manis. Seringkali kau dapatkan nilai 0 (nol) saat duduk di bangku kelas 1 dan 2 SD (Sekolah Dasar). Bahkan sekedar menulis namamu yang amat sederhana pun salah. Ibu sebenarnya tahu  jikalau engkau sering membuang nilai-nilai jelek yang kau dapat di bak sampah sebelum tiba di rumah.  Tak jarang aku memarahi dan menuntutmu untuk belajar lebih giat lagi. Sedang kaupun seperti biasa, pandai mencari-cari alasan pembenaran.

Diusiamu yang ke 7 tahun, barangkali perhatian Ibu padamu sedikit berkurang. Ibu melahirkan seorang bayi laki-laki yang sekaligus menjadi adik kecilmu. Ibu tidak sesering dahulu mengechek PR dan jam belajarmu. Namun ternyata diluar perkiraan, engkau justru kian melejit. Tanpa paksaan dalam belajar, nyatanya kau mulai sadar akan pentingnya belajar. Begitu seterusnya hingga datanglah masa kelulusan SD. Ibu merasa sangat terkejut sekaligus bangga bahwa engkau yang selama ini tak pernah masuk ranking 5 besar di kelas (bahkan pernah berada di urutan ke 27 dari 30 siswa di bangku kelas 1 dan 2), nayatanya bisa menyabet jawara ke 2 predikat nilai terbaik UN dan UAS. Selepas itu, keinginanmu memiliki sepeda onthel pun terwujud atas dukungan dari Bapak karena prestasi itu. Kau pun terlihat sangat bahagia dan akrab sekali dengan Bapakmu. Sedang aku  hanya terdiam, tanpa kata.

Saat memasuki dunia SMP, engkau tidak terlalu banyak berubah. Hanya saja, interaksi dengan  kawan sepermainan mulai berkurang. Kini engkau mulai memiliki lingkungan yang baru. Gadis kecil ibu kini tumbuh menjadi anak yang pendiam. Dibeberapa kesempatan engkau terlihat begitu minder dihadapan teman-teman. Apakah gerangan anakku? Apa yang engkau khawatirkan saat itu?. akankah engkau membutuhkan sahabat untuk bercerita? Ataukah engkau kesulitan bergaul dengan mereka? Sementara aku terlalu sibuk dengan kebun dan sawah. Agaknya itu menjadikanmu kesal padaku. Engkau lebih banyak diam dan enggan untuk bercerita.  Terlebih aku seringkali membandingkan antara kelemahammu dengan kelebihan anak yang lain.

Dibalik sifat pendiam dan mindermu tersimpan potensi yang membanggakan.. Prestasi selama SMP tak pernah absen kau duduki. Engkau selalu masuk ke jajaran kelas favorit dan menduduki ranking terbaik disana. Hingga tiba masa SMK, Ibu sempat merasa putus asa akankah mampu memberikan sokongan biaya sekolah bagimu atau tidak. Namun ternyata, kau tumbuh menjadi anak yang gigih dan berani. Dengan tekad sekuat baja, engkau tunjukkan pada Ibu akan keseriusanmu bersekolah. Engkau bilang bahwa engkau ingin mengukir prestasi dan meraih beasiswa guna meringankan beban Ibu dan Bapak. Tak berselang lama, kejutan demi kejutan engkau pesembahkan. Engkau kerap menjuarai lomba-lomba bidang debat bahasa inggris, olimpiade penelitian dan kompetesi kejuruan dari tingkat Kabupaten Semarang, Provinsi Jawa Tengah hingga Nasional. Saking bangganya padamu, bahkan Ibu tak pernah telat ataupun absen untuk mengambilkan rapor disetiap penerimaanya sejak SD hingga kini. Tak bisakah engkau terka bisikan yang terpampang jelas dalam binar mata ibu, anakku?

1 tahun menjelang masa putih abu-abumu berakhir, ada permintaan darimu yang dahulunya pernah ibu tolak. Saat itu tepatnya tahun 2011. Engkau meminta ijin pada Ibu untuk tinggal di asrama sekolah. Engkau bilang bahwasanya ingin mengemban ilmu agama lebih dalam dan agar aman karena sebentar lagi banyak jadwal les tambahan yang menanti hingga petang.maklumlah kalaupun  memaksakan pulang, tak ada lagi angkutan umum yang masuk ke desa. Awalnya, ibu merasa khawatir dan berfikir jikalau ini hanyalah pelarianmu agar tidak terkekang oleh aturan yang melarangmu keluar malam. Maklumlah, aku hanya khawatir jikalau engkau terjebak pergaulan yang tidak baik. Engkau anak perempuan satu-satunya yang Ibu miliki. Dibalik ketatnya dan kerasnya perlakuaku padamu, tersimpan kasih yang mendalam untuk menjagamu.

Keputusan ibu mengijinkanmu tinggal di asrama agaknya berbuah manis. Menepis segala kegundahan dan keberatan hati yang awalnya berkelana. Engkau kini memutuskan untuk berhijab. bukan hanya di Sekolah, namun juga kala di rumah. Engkau menjadi anak yang lebih santun dan hormat pada orang tua. Engkau juga memilih untuk tidak mengikuti jalan teman-temanmu  yang kebanyakan berpacaran. Dan tahukan engkau nak, Ibu sangat lega. Melihat keteduhan yang engkau pancarkan. Meskipun aku bukanlah sosok ibu yang mampu mendidikmu dan mengajarkanmu bekal ilmu agama. Bahkan mungkin kau sudah bosan karena aku seringkali menjadi penuntut tuntutan sekaligus pelanggarnya. Namun, harus kau tahu anakku, di dalam untaian indah doa yang ibu panjatkan tak pernah berhenti menyebut namamu.

Aku memanglah sosok yang memiliki banyak keterbatasan. Saat masih muda, aku adalah anak yang cerdas. Tersebab kesulitan ekonomi, akhirnya aku harus mengalah. Pendidikanpun hanya tamat sampai  bangku SD. Tapi nak, melihatmu menggebu dan mengukir banyak prestasi menjadikan semangat yang tadinya terkubur, bangkit kembali. Ibu tak ingin engkau mengubur impian indahmu sebagaimana ibu harus merelakan impian masa muda ibu dengan alasan keterbatasan. Yahh… pada akhirnya engkau dengan kegigihan menunjukkan kepada Ibu dan masyarakat di desa bahwasanya engkau bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi.

Cobaan hadir sebagai bentuk karunia Ilahi atas kekuatan iman hambaNya. Di tahun 2015 ibu mendapatkan sedikit cobaan berupa tumor payudara yang sudah akut. Ibu sempat menjalani opname di RSUD selama beberapa waktu. Dikarenakan peralatan yang terbatas akhirnya Ibu dirujuk ke RSUP Dr. Kariadi untuk menjalani operasi. Disaat itu, engkau tetiba hadir mendampingiku. Meski ku tahu nak, engkau saat itu sedang sibuk dengan seabrek agenda di kampus. Yahhh kuliah di Yogya sangat memforsir waktumu hingga jarang menengok Ibu di kampong halaman. Engkau memutuskan untuk ijin dari kuliah dan mendampingi operasi Ibu sejak awal masuk RS hingga keluar. Betapa saat itu Ibu merasa tenang engkau ada disampingku, Nak. Dan masih sama, aku tak pernah bisa membuatmu mendengarkan apa yang terpendam dalam lubuk hati ini.

Belum genap sebulan setelah ibu keluar dari Rumah Sakit (akhir 2015). Kondisi Ibu belum sepenuhnya pulih. Tetiba Ibu mendapat kabar bahwa engaku jatuh sakit dan harus diopname di salah satu puskesmas di Yogyakarta. Kudengar kondisimu lemah, tak berdaya. Kadar trombositmu bahkan berada dalam skala yang sangat rendah. Saat itu Ibu sangat gugup, khawatir dan takut jikalau terjadi apa-apa padamu. Anjuran makan teratur dari dokter guna minum obatpun Ibu abaikan. Ibu bahkan tidak bisa tidur semalaman. berharap malam kan berlalu dengan lebih cepat. Hanya kondisimu yang selalu terbesit dalam pikiran Ibu. Paginya Ibu memberanikan diri untuk berangkat ke Yogya sendiri. Guna menyusulmu. Merawatmu. Membersamaimu. Duhai anakku. Karena bagiku kesehatanmu adalah jauh lebih penting, melebihi segalanya. Kalau bisa mungkin Ibu lebih memilih untuk menukar rasa sakitmu untuk menjadi sakitku.

Akankah engkau mampu membaca nak? Membaca suara yang tak selalu terdengar oleh telinga, nampak oleh mata namun semestinya bergetar didalam hati.  Pada saat acara wisudamu, Ibu dan bapak bahkan mengajak budhe, pakdhe, bu lek, keponakan, dan adekmu untuk hadir di momen bersejarah wisuda sarjana yang engkau kirimkan. Sesampainya disana engkau berikan kejutan yang luar biasa. Berkali-kali. Tak kuduga diawal acara, namamu disebut diantara ribuan orang yang hadir dalam gedung elit itu. seketika air mata ibu mengalir membasahi pipi. Tak lama terdengar suara dari arah depan (sang pembawa acara) menyebut nama Ibu dan Bapak untuk mempersilakan naik ke podium bersamamu. Betapa waktu itu degup kencang begitu membuncah. Melihatmu menerima penghargaan dari pihak rektor dan jajaran guru besar universitas. Alhamdulillah, ingin rasanya Ibu langsung sujud syukur di atas mimbar. Itupun tak hanya sekali. Bahkan nama Ibu dan Bapak disebut dan dipersilakan selama 3 kali banyaknya. Andaikan orang-orang bisa mendengar kata hati, pastilah mereka akan mendengar bisikan keras dariku bahwa Betapa aku sangat bersyukur kepada Allah dikaruniakan anak sepertimu.

Putri kecilku, ibu baru tersadar bahwa kini engkau telah beranjak dewasa. Sepertinya baru kemaren engkau  merengek-rengek dibelikan jajan dan bermain diantara pepohonan sawah ladang. Sementara kawan sepermainamu kini banyak yang sudah melepas masa lajang. Adapula yang  menggendong buaian. Sementara engkau masih saja betah untuk mengukir mimpi dan berkarya di sana. Di sebuah kota yang katamu istimewa.

Sejatinya Ibu selalu mendukung apa yang menjadi pilihanmu. Apapun itu. tak terkecuali. namun ada satu hal Nak, dengarkan ibu. Lihatlah Ibu. Kini Ibu semakin menua. Tenaga tak sekuat dahulu. Uban putih mulai menyapu. Seringkali daya tahan tubuh melemah secara tak menentu. Saat engkau memiliki sedikit waktu senggang, maka pulanglah. Datanglah dan tengok Ibu yang saat ini berbaring lemah. hadirmu setidaknya mengobati rindu. Sering-seringlah berkunjung. Sebelum seorang pria sejati yang mengambil alih tanggung jawab Ibu dan Bapak atas engkau datang. Karena di saat engkau menikah nanti, pastilah engkau akan lebih jarang lagi datang kemari. Disaat itu, Ibu tak lagi mampu  menahanmu. Aaaahhhhhhh sudahlah. Bahkan seharusnya itu adalah tanggung jawabku. Sebagai seorang ibu selayaknya mencarikan pendamping terbaik untukmu. Dia yang akan menemanimu membangun masa depan dunia dan akhirat. Tapi apalah daya, biarlah sang waktu yang menjadi jawaban.

Di akhir bait ini akan kusampaikan padamu. Anaku sayang…………terkadang tak semua cinta itu terungkapkan lewat kata. Tak semua bisik rindu itu ternyatakan oleh bait. Dalam diam, Ibu mencintaimu. Diantara ribuan omelan ini Ibu menjagamu. Tak usah kau tahu seberapa ibu bahagia memiliki anak sepertimu. Tak perlu engkau ukur seberapa berat perjuangan yang mesti ibu korbankan. Tanpa kata, binar kebanggaan ibu atasmu selalu berpendar. Karena inilah caraku. Menyayangimu. Karena aku lah ibumu. Yang telah mengandung, merawat dan membesarkanmu. Dari dulu kini, nanti atau sampai kapanpun akan tetap sama.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar