Jumat, 29 September 2017

CINTA antara Ketegasan dan Kelembutan

CINTA
antara Ketegasan dan Kelembutan


Dialah sosok yang berhati lembut nan memiliki akhlak yang mulia. Abu Bakar Ash Shidiq, khalifah yang ditunjuk kaum muslimin sepeninggal Rasulullah SAW wafat. Abu Bakar terkenal akan kedermawanannya dan kekokohan aqidahnya dikalangan kaum muslimin. Betapa tidak, ia sosok yang sangat cepat meneteskan air mata lagi penyayang terhadap sesama. Dia juga sosok yang selalu menemani perjuangan panjang Rasulullah dikala awal berdakwah yang dipenuhi tantangan dan penyerangan dari berbagai pihak, membersamai saat hijrah, hingga islam menunjukan taringnya (terbela kehormatannya) di belahan negeri Jazirah Arab sampai Rasul SAW wafat. Apa saja yang dilakukan oleh rasulullah, selalu ia teladani dan amalkan tanpa menyisakan satupun amalan yang tertinggal.

Umar bin Khattab yang memiliki kegigihan pun (bahkan dikatakan Syaitan pun takut padanya) merasa “iri” terhadap Abu Bakar dikarenakan kesholihanya. Hingga pada suatu ketika Madinah  dilanda musim paceklik, panas, dan kering pasca perang Hunain.  Saat itu rasulullah sedang mempersiapkan untuk melakukan perlawanan kepada Bangsa Romawi yang dikabarkan akan melakukan penyerangan ke Madinah. Alangkah beratnya pada saat itu ditengah kondisi padang pasir yang sangat panas apalagi untuk melakukan perjalanan jauh., sehingga Rasul membuka peluang berderma bagi para sahabat. Dan masya ALLAH begitu Rasulullah berkata demikian, sambutan para sahabat sangat luar biasa. Mereka berlomba-lomba untuk memberikan harta yang mereka miliki kepada Rasulullah guna mendukung kepentingan jihad (perang tabuk).

Diriwayatkan bahwa saat itu Usman Bin Affan mendermakan 10.000 dinar, 50 ekor kuda, 300 unta. Umar berencana menyaingi Abu Bakar dengan memberikan setengah dari seluruh harta kekayaan yang ia miliki pada Rasulullah. Tak selang berapa lama, Umar lantar terperangah karena ternyata Abu Bakar justru mendermakan seluruh harta yang ia miliki.

Rasulullah pun sempat bertanya, “Jika engkau serahkan seluruh kekayaanmu, lantas apakah kiranya engkau tinggalkan untuk istri dan keluargamu wahai Abu Bakar?”

Abu Bakar menjawab , “Aku tinggalkan untuk mereka, Allah dan RasulNya”.

Begitulah Abu Bakar, selalu bersegera dalam kebaikan secara totalitas. Menjadi garda terdepan yang paling siap siaga.

Saat Rasulullah wafat, terjadilah beberapa perdebatan di kalangan kaum muhajirin dan anshar untuk memilih siapa khalifah selanjutnya yang akan memimpin kaum muslim.

Abu Bakar memilih Umar bin Khattab untuk menjadi imam kaum muslimin karena denganya ia memuliakan islam dan umat muslim menjadi percaya diri menunjukkan keislaman di hadapan kaum Qurays.

Umar pun lantas berkata, “Demi Allah, aku maju lalu leherku ditebas, itu lebih aku sukai dari pada memimpin kaum yang didalamnya ada Abu Bakar Ash Shidiq”.

Bergegas Umar maju dan membaiat Abu Bakar, dan seketika suasana perdebatan antara kaum muhajirin dan anshar berubah menjadi cair. Kaum muslimin turut membaiat Abu Bakar
.
Disaat itu Abu Bakar lantas menaiki tangga yang dipergunakan untuk berpidato. Tangga tersebut terdiri atas 3 tingkat. Hanya saja Abu Bakar hanya menaiki dan duduk di tingkat yang kedua karena ia merasa tidak pantas menduduki anak tangga yang paling atas (tempat Rasulullah biasa memberikan khutbah). Ia terdiam sejenak.

Abu bakar menyampaikan pidato singkatnya, “ Aku bukanlah yang terbaik diantara kalian. Jika aku berlaku baik maka bantulah aku. Jika aku salah maka ingatkan aku. Orang yang lemah akan jadi kuat sampai aku berikan hak untuknya. Sedang orang yang kuat akan jadi lemah sampai aku ambilkan hak orang lemah atas orang yang kuat ini. taatilah aku selama aku taat pada Allah dan RasulNya. Jika aku durhaka, maka kalian tak perlu taat.”

Begitulah Abu Bakar, sosok yang memiliki jiwa besar. Ia selalu menilai dirinya tidak lebih baik dari orang lain.

Dikisahkan bahwa pada suatu ketika Umar masuk ke rumah Abu Bakar. Didapatilah pada saat itu Abu Bakar sedang menangis tersedu-sedu.

Abu bakar, “jangan berikan amanah ini kepadaku wahai Umar, ini adalah beban yang sangat berat”.

Abu Bakar merasakan ini adalah perkara yang berat dikarenakan ia hanyalah manusia biasa yang harus menggantikan kepemuimpinan yang sebelumnya dijabat oleh seorang manusia mulia yang menjadi Nabi sekaligus Rasul SAW.

Tak lama setelah itu muncullah gejolak dari kalangan kaum muslimin terutama yang baru saja masuk islam pasca fathu makkah.

Ada diantara kaum muslim yang menolak untuk membayar zakat. Bagi mereka zakat yang dibayar untuk Rasulullah SAW. Setelah beliau wafat, maka usai sudahlah kewajiban tersebut. Mereka  bahkan tidak segan-segan untuk memprovokasi orang lain untuk tidak taat pada Abu Bakar dan melakukan pemberontakan.

Prihatin akan kondisi penyimpangan yang sedemikian rupa, akhirnya Abu Bakar bertindak, “ Andai saja sekedar seutas tali unta yang biasanya mereka bayarkan untuk rasulullah, dan saat ini mereka enggan untuk membayar, maka akan aku perangi mereka.”

“Bagaimana bisa kita akan memerangi atau menumpahkan darah orang yang telah bersyahadat wahai Abu Bakar?”, Kritik Umar.

“Tidak boleh dibunuh, kecuali dengan haknya,” tegas Abu Bakar.

Saat Abu Bakar akan mengirimkan pasukan yang memerangi para pemberontak yang enggan membayar zakat, Abu Bakar masih membuka ruang musyawarah dari para sahabat. Meski pada akhirnya Abu Bakar tetap akan bersikukuh memegang keputusanya.

Lantas Umar berkata, “Setelah itu Allah SWT melapangkan dadaku untuk mengikuti keputusan Abu Bakar”.

Disini kita lihat ada perbedaan yang cukup kontras antara Umar dan Abu Bakar. Biasanya kita lihat Abu Bakar sebagai sosok yang lembut tapi dalam situasi ini ia tegas. Sedang Umar yang biasanya tegas, dalam situasi ini menjadi lunak dan menyarankan untuk tak perlu memerangi kaum pemberontak.

Pada saat masa Rasulullah Muhamad SAW, tak ada ruang dari Abu Bakar untuk melengkapi. Tersebab kepemimpinan Rasulullah saja sudah nampak sempurna atas karomah dariNYA. Berbeda ketika ia yang memimpin. Ketegasan itu ada.

Ketegasan Abu Bakar juga nampak pada keputusanya memberangkatkan pasukan muslim yang dipimpin oleh Usamah bin Zaid (saat itu berusia 14 tahun) menghadapi Romawi di Syam atas kehendak Rasulullah sebelum wafat. Padahal disana juga telah berjejer dikalangan pasukan muslim Khalid bin Walid, Usman bin Affan, dan para sahabat senior lainya. Sahabat dikalangan senior kala itu berfikir untuk melanjutkan perjalanan pulang ke Madinah. Bahkan disaat yang sama Usamah bin Zaid juga menyarankan untuk menarik pasukan ke Madinah saja. Mengingat Madinah kala itu sedang genting dikarenakan banyaknya pemberontakan dan mulai bermunculanya nabi-nabi palsu.

Abu bakar : “Pasukan kaum muslimin harus tetap diberangkatkan ke Syam, tak ada sekecil celahpun untuk menarik diri dari perjalanan ini”.

Umar : “Kalau begitu, bagaimana kalau panglima perangnya (Usamah bin Zaid) diganti saja?”

Abu Bakar menimpali sembari menarik jenggot Umar, “ Demi Allah andai srigala mencabik-cabik sekujur tubuhku, maka aku akan tetap tidak mengubah apa yang Rasul SAW tetapkan”

Abu bakar sama sekali tidak bergeming untuk membuka ruang diskusi disini. Karna jelas bahwa ini wasiat dari Rasulullah SAW.

Di tengah perjalanan menuju Syam, Usamah (panglima perang) yang naik kuda, sedang Abu Bakar berjalan kaki ia mengatakan bahwa, “Wahai Abu Bakar, biarkan saya berjalan diantara pasukan lain dan engkau naiklah ke atas kuda ini”.

Abu Bakar, “ Demi Allah aku tidak akan membiarkanmu turun dan aku tidak akan pernah naik. Biarkan kaki ini lusuh untuk sementara waktu karena berjalan memperjuangkan agamaNYA, dan kelak kaki ini akan jadi saksi saat menapak di Surga”.

Sosok selembut Abu Bakar yang mudah sekali meneskan air mata bahkan tampak begitu tegas pada saat ketegasan itu dibutuhkan. Dan disini Abu Bakar telah mengajarkan pada kita  sebuah Ibrah indah  yang didapat atas ketegasan dan kejeniusan beliau dalam melabuhkan pilihan. Yakni :
Tersebab kegigihan  Abu Bakar tetap memilih untuk memberangkatkan pasukan kaum muslimin melawan Romawi di Syam, meski di Madinah sedang dilanda prahara. Keputusan tersebut rupanya membuat kekhawatiran diantara kaum pemberontak jika melakukan perlawanan kepada kaum muslimin. Karena mereka mengaggap bahwa pasukan muslim itu sangat kuat. Tidak mungkin kaum muslimin akan berangkat ke Syam apabila mereka dalam keadaan lemah pasca meninggalnya rasulullah SAW.

Wallahua’lam bissowab


Ditulis dengan sedikit pengembangan dari penulis atas inspirasi dari kajian sejarah islam bersama Ust. Deden Anjar (Yogya, 26-09-2017)
semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar