Minggu, 22 Oktober 2017

Little Things, Deep Meaning

Lakukanlah Kebaikan Sekecil Apapun


Sebagai seorang manusia yang beriman, kita meyakini bahwa hidup manusia bermuara pada dua hal. Yakni surga atau neraka. Pada saatnya nanti hari pengadilan tertinggi itu kan tiba. Ada banyak pasang mata kusut tanda penyesalan manusia. Isyarat penyesalan agaknya terbagi menjadi 2 sebab. Pertama, manusia menyesal akan segala waktu yang ia sia-siakan dengan bermaksiat pada Allah, sehingga denganya tidak tersisa sedikitpun melainkan dosa-dosa tadi melahap amalan baik yang pernah diperbuat. Yang kedua, penyesalan seorang mukmin yang terjadi saat Seluruh kebaikan yang dilakukan selama di dunia kurang maksimal.

Semoga saja kita dihindarkan dari golongan manusia yang menyesal karena point pertama. Agaknya dalam kesempatan kali ini, penulis ingin sedikit berbagi terkait point yang kedua. Yahh, tentang kebaikan. Kebaikan sebagai bentuk representasi dari ketaqwaan seorang hamba kepada rabb-Nya. Menaati perintahNya pun menjauhi laranganNYA.

Suatu ketika dikisahkan ada salah seorang sahabat yang menghadapi sakaratul maut. Kala itu sahabat tadi didampingin oleh istrinya. Pada saat menjelang ajal, tidak ada kata lain yang diucapkan oleh sahabat tadi melainkan 3 hal. Itupun ia ucapkan dalam keadaan tersengal-sengal dan terdengar kurang jelas. Ucapan tadi berbunyi:  
Andai lebih jauh lagi ...............
Andai masih baru.....................
Andai semuanya...................

Istri seorang sahabat tadi merasa khawatir dan sempat menangis kalau saja suaminya meninggal dalam keadaan kurang baik. Hingga sesaat setelah sahabat tadi meninggal dan dimakamkan, Rasulullah SAW datang untuk takziyah. Disana rasulullah berkata kepada istri sahabat yang meninggal tadi, “Wahai fulanah sesungguhnya apa yang diucapkan oleh suamimu itu tidaklah keliru.” Artinya saat itu rasulullah sedang menenangkan hati sang istri tadi bahwa suaminya adalah orang yang sholih.  

Dihadapan para sahabat yang melayat, Rasulullah lantas berkata, “Para sahabat ku, maukah kalian aku ceritakan apa maksud dari ketiga kalimat yang diucapkan almarhum tadi?”
Para sahabat yang melayat menjawab, “baik ya Rasulullah, coba ceritakan kepada kami apa maksud dari ketiga perkataan tadi?”

Rasulullah lantas bercerita. Kalimat yang pertama maksudnya adalah suatu ketika saat si fulan masih hidup, ia berjalan menuju ke masjid untuk shalat berjamaah. Ditengah perjalanan ia melihat sosok laki-laki buta sedang terseok-seok karena tidak ada yang membantu memberikan petunjuk jalan. Alhasil sahabat tadi menuntun si buta hingga tiba di masjid untuk beribadah. Ia mengucapkan Andai Lebih Jauh Lagi, karena pada saat sakaratul maut ia didatangi oleh malaikat yang menampakkan bukti kebaikanya. Amalan tersebut ternyata memiliki balasan pahala yang melimpah. Lantas ia menyesal, andai saja ia tahu amalan sesederhana itu memiliki bobot yang berlipat ganda di sisi Allah, tentu ia akan menuntun si buta tadi melewati jalur yang lebih jauh lagi menuju masjid. Agar ia mendapatkan balasan yang lebih besar lagi.  

Teruntuk kalimat yang kedua, andai masih baru. Pada suatu ketika Arab dilanda musim dingin yang amat sangat. Pada saat keluar rumah untuk menuju suatu tempat, ia tidak sengaja melihat ada seorang laki-laki yang hampir terkapar karena kedinginan. Akhirnya si fulan memberikan salah satu dari 2 jubah yang ia pakai kepada laki-laki tadi. Pada saatnya tadi, Ia dinampakkan bahwa ternyata jubah yang ia berikan tersebut mendapatkan pahala yang besar disisi Allah, dan lantas ia menyesal karena memberikan salah satu jubah yang sudah kusam. Andai waktu itu ia memberikan jubah yang masih baru mungkin ia akan mendapatkan limpahan kebaikan yang tiada terkira.

Teruntuk maksud dari kalimat yang ketiga. Pada saat itu si fulan hendak makan bersama keluarga. Tidak ada makanan lain yang ia miliki selain sepotong roti. Namun di saat yang sama dari balik pintu rumah terdengar suara rintihan seseorang. Begitu pintu dibuka, ternyata ada seorang pengemis yang kelaparan. Akhirnya ia memutuskan untuk memotong roti yang hanya 1 biji tadi menjadi 2 bagian.  yang sebagian diserahkan kepada pengemis dan sebagian sisanya untuk ia makan bersama keluarga. Ia tidak menyangka bahwasanya sepotong roti yang ia berikan tadi mendapatkan timbangan kebaikan yang besar di sisi Allah SWT. Dan ia merasa menyesal mengapa waktu itu ia tidak serahkan saja semua roti tadi ke pengemis tadi agar ia mendapatkan pahala yang sempurna.

Dari cuplikan kisah tadi, kita mampu menukilkan sebuah pesan sederhana yang cukup mendalam. Yakni amalan sahabat tadi kalau dirunut mungkin “hanya” sekedar menuntun orang buta, memberikan jubah (baju) yang sudah tidak lagi baru, dan berbagi sepotong roti. Siapa sangka nyatanya amalan “sesederhana” itu mendapatkan timbangan yang berat di sisi Allah SWT.

Sahabat sekalian, ternyata sebuah kebaikan yang tidak dilaksanakan secara maksimal akan kita sesali di akhirat nanti. Semoga kita termasuk kedalam golongan orang-orang yang tidak meremehkan sebuah kebaikan sekecil apapun. Karena nyatanya timbangan kebaikan Allah itu berbeda jauh dengan timbangan manusia dalam kacamata dunia. Bisa jadi sebuah kebaikan yang kita anggap kecil nan remen-temeh itu memiliki bobot yang berat di sisi Allah, pun bisa juga kebaikan yang kita rasa besar nyatanya tak lebih besar nilainya dibanding buih di lautan yang terhempas.

Artinya apapun amanah yang kita emban saat ini, lakukan saja dengan totalitas. Tidak ada jaminan bahwa sekaliber “ustad/ustadzah” yang menyampaikan materi jauh lebih mulia dari orang-orang yang baru saja hijrah dan terbata. Bisa jadi kita yang mungkin hanya mampu menggelar tikar untuk memberikan kenyamanan kepada jamaah yang akan mengahdiri majlis, adalah jauh lebih mulia dibandingkan pengisi acaranya. Tiada yang tak mungkin bagi Allah.

Bisanya kita cenderung akan totalitas apabila mendapatkan amanah yang besar. Saat kita mendapatkan amanah yang sifatnya “pelengkap” misal sebagai staf atau jundi, lantas kita hanya memberikan kontribusi yang biasa-biasa saja. Padahal tidak menutup kemungkinan kita yang saat itu posisinya sebagai bawahan bisa memiliki ide-ide yang brilian dan kontribusi yang besar terhadap kinerja-kinerja pembangunan dibanding qiyadah kita.

Kita sebagai generasi pemuda muslim masa kini seyogyanya ikut meneladani mentalitas pejuang yang dimiliki para sahabat. Meski pada zaman sekarang sepertinya jauh panggang dari api. Bagaimana tidak, saat penguasa negeri ini yang abu-abu tendensinya pada kebaikan meluap-luap dan heroik menduduki jabatan yang strategis. Pasca lengser, seolah tak pernah terdengar lagi gaung dan kontribusinya. Terlebih jika dicopot dari jabatan, kebanyakan elit negeri ini lantas merajuk dan tak sedikit yang saling menyulut api peperangan. Sungguh ini adalah sebuah ironi. Kondisi ini sangatlah kontras dengan para pemimpin pada masa sahabat.

Alangkah indahnya jika kita meneladani akhlak para sahabat rasulullah yang bersegera dalam kebaikan dan totalitas dalam segala peranya. Sebut saja Khalid bin Walid yang bahkan dijuluki sebagia pedang Allah yang terhunus. Suatu ketika ia dipecat jadi panglima perang dan diturunkan dari jabatan oleh amirul mukminin umar bin khattab. saat itu khalid lantas bertanya, “Atas dasar apa engkau memecatku wahai Umar?”

Umar menjawab, “sesungguhnya engkau tidak melakukan kesalahan apapun”.

Begitu terdengar jawaban Umar, Khalid lantas diam dan menerima keputusan Umar dengan gentlenya. Hingga suatu saat pasukan muslim melakukan perjalanan untuk perang Yarmuk, terlihat Khalid ikut beserta rombongan kaum muslimin.

Sahabat pun bertanya, “Wahai Khalid, bukankah engkau telah dicopot dari jabatan perang oleh Umar? Lantas mengapa engkau tetap ikut berperang?”

Khalid dengan jiwa kesatriyanya lantas menjawab dengan lantang, “sesungguhnya aku berperang bukan untuk Umar, namun Untuk Tuhanya Umar”.

Begitulah mentalitas dan jiwa kesatria. Seorang pejuang akan terus berjuang tak peduli ia pemilik mimbar atau bukan. Seorang pejuang akan terus bertandang pada kebaikan. Seorang pejuang akan terus memberikan kerja-kerja nyata bagi perbaikan. Seorang pejuang tak akan gentar dengan aral badai yang melintang. Baginya cukuplah Allah SWT sebagai penawar atas segala kelelahan selama  di dunia dan hanya kepadaNya semua bermuara.  

Penilaian yang bagus dari manusia itu hanyalah bonus. Dan sekaligus bisa memberangus apabila kita kemudian menjadi riya’ terhadap amal perbuatan kita. Maka seyogyanya mari kita kembalikan semua kebaikan yang dilakukan hanya pada penilaian dan ridho Allah SWT semata. Kuncinya do your best self, ikhlas, semangat dan istimror (keberlanjutan amal).


Waalahua’lam bisshowab. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar